Arief Yahya: Ini Konsep yang Harus Dimiliki Pemimpin di Masa Krisis

marketeers article

Berada di tengah kondisi sulit, seperti masa pandemi saat ini tentu menjadi tantangan besar bagi para pemimpin. Kemampuan leadership mereka dipertanyakan ketika perusahaan mungkin terancam kesulitan. Dilema tentu datang ketika mereka harus menyelamatkan kapal yang dinahkodai beserta isinya.

Dari kacamata Arief Yahya, Mantan Menteri Pariwisata RI yang sempat menjabat sebagai Direktur Utama Telkom Indonesia, terdapat sejumlah konsep leadership yang harus diperhatikan para pemimpin, terutama di masa krisis. Apa saja?

Mega Thinking

Poin pertama yang harus diperhatikan para pemimpin adalah kemampuan mereka dalam menerapkan pemikiran yang stategis (startegic thinking). Terdapat tiga jenis strategic thinking, yakni Mikro; Makro; dan Mega.

Seorang pemimpin dengan strategic thinking di level mikro hanya berpikir mengenai perusahaan dan produk. Pemikirannya hanya mengacu kepada “apa”, bukan mengenai “bagaimana” dan “mengapa”.

Sementara, seorang pemimpin dengan pemikiran makro, memiliki orientasi kepada customer (output). Secara sederhana, pola kerja mereka mengacu pada pemikiran “who wins the customer, wins the game”. Pemimpin dengan pemikiran makro cenderung mengedepankan customer, tanpa memikirkan perusahaan.

Seorang leader yang baik, menurut Arief Yahya harus memiliki kemampuan strategic thinking di level mega. Pasalnya, pemimpin di level ini, bukan lagi sekadar memikirkan perusahaan maupun customer, melainkan komunitas.

Perusahaan-perusahaan besar di dunia, seperti Google, Facebook, dan Alibaba menjadi contoh nyata dari mega thinking.

Ketika Facebook dibuat, Mark Zuckerberg tidak memikirkan diri sendiri atau pun perusahaan yang ia bangun. Lebih dari itu, ia berpikir ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik dan mudah bagi setiap orang ketika Facebook hadir. Google pun demikian. Mereka bisa sebesar ini karena orientasi mereka untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.

Alibaba pun tak kalah mega. Perusahaan yang dipimpin Jack Ma ini mendonasikan test kit ke Amerika Serikat yang merupakan rival perang dagang China.

Mega thinking merupakan aspek yang harus dimiliki seorang leader. Mega thinking berdasarkan pada konsep spiritual, dan roh yang berbicara. Roh yang konon diciptakan dari cahaya selalu membawa kita ke arah yang tinggi sehingga mereka yang berpikir mega akan menciptakan sesuatu yang besar. Konsepnya, the more you give, the more you get,” jelas Arief Yahya dalam Vitual Jakarta CMO Club yang digelar MarkPlus, Inc., Selasa (22/04/2020).

Leader as a Father

Aspek kedua yang tidak kalah penting adalah konsep leader as a father. Menurut Arief Yahya, seorang pemimpin harus memposisikan diri mereka sebagai seorang ayah bagi karyawan mereka.

“Tidak ada yang lebih membahagiakan seorang ayah dibandingkan melihat anaknya menjadi lebih hebat, sukses, dan pintar dari mereka. Pemimpin pun demikian. Mereka harus mampu menciptakan pemimpin-pemimpun lain yang jauh lebih hebat. Jadi, jangan pernah merasa tersaingi oleh anak buah. Jadilah seorang ayah yang senang melihat anak-anaknya lebih sukses. Bagaimana ayah memperlakukan anaknya adalah apa yang harus kita lakukan terhadap anak buah kita,” tutur Arief Yahya.

Energize People

Seorang pemimpin menurut Arief Yahya harus memiliki mimpi besar yang akan meng-energize orang lain. Namun, mereka juga harus memikirkan grand legacy lebih dulu. Hal pertama yang harus dipikirkan seorang pemimpin adalah hal terakhir yang kelak diwariskannya.

“Sebagai seorang pemimpin, Anda harus ingat jika apa yang Anda putuskan hari ini akan dikenang selama-lamanya. Apakah Anda berani menghadapi itu?,” ujar Arief Yahya.

Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE) meyakini, terdapat empat hal yang harus dimiliki oleh para pemimpin. Ia merangkumnya ke dalam 4E (Energy, Energize, Edge, Execute). Pertanyaan yang kemudian muncul, dari mana energi besar seorang pemimpin timbul?

“Energi tersebut timbul dari spirit yang dimiliki oleh pemimpin. Jack Welch menyebut ini sebagai passion, dan saya sebut ini sebagai spirit. Kita harus seimbangkan hati dengan rasio kita,” papar Arief Yahya.

Invest in People

Poin ini merupakan hal yang jarang dipahami oleh para pemimpin. Apalagi, di tengah situasi sulit seperti pandemi saat ini. Banyak pemimpin yang mungkin dilema. Di satu sisi, ingin mempertahankan karyawan mereka, namun di sisi lain persoalan cashflow perusahaan juga perlu dijaga.

Menurut Arief Yahya, pemimpin yang baik tak boleh mengorbankan orang-orang di dalam perusahaan tersebut. Belajar dari pengalaman Alibaba atau pun Google, perusahaan yang mempertahankan karyawan mereka disaat sulit justru bisa menjadi perusahaan terbesar di dunia.

Hal ini juga diterapkan Arief Yahya ketika menjabat sebagai Direktur Utama Telkom Indonesia.

Kala itu, ia menginvestasikan Rp 1 triliun untuk pengembangan Sumber Daya Manusia. Telkom menyekolahkan 200 karyawan mereka per tahun ke berbagai perguruan tinggi terbaik di dunia, dan mengirim 1.000 karyawan ke seluruh dunia untuk kembali membawa project baru.

“Transformasi besar-besaran hanya bisa dilakukan oleh CEO. Menjadi CEO bagaikan melukis di atas kanvas putih, selama tidak keluar dari frame, it’s okay. Kita harus yakin apa pun yang kita lakukan bisa memberikan value yang tinggi. Meskipun Telkom adalah perusahaan telco, namun kami justru memposisikan people sebagai aspek utama di dalamnya,” tutup Arief Yahya.

Related

award
SPSAwArDS