Banyak Startup Lakukan PHK, Helmy Yahya Ungkap Penyebabnya

marketeers article
Ilustrasi startup, sumber gambar: 123rf

Mantan Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) sekaligus pengusaha kawakan Helmy Yahya mengungkapkan penyebab perusahaan rintisan (startup) melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) baru-baru ini. Dia berpandangan, upaya efisiensi dilakukan lantaran tidak adanya rencana bisnis yang jelas.

Helmy menyebut selama ini para pendiri startup hanya mahir dalam mencetuskan ide-ide bisnis yang brilian. Namun, hal itu tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang baik dan perencanaan yang matang. Mereka lebih cenderung menikmati proses bakar-bakar uang dari investor sehingga menyebabkan ketergantungan.

“Ide anak zaman sekarang jago-jago semua, tapi marketingnya kadang-kadang mereka tidak dipikirin, literasi keuangannya rata-rata tidak bagus. Dalam bisnis itu ide bisnis saja tidak cukup, tapi eksekusi itu paling penting. Ide bisnis hanya berkontribusi 15% saja, sedangkan sisanya 85% adalah eksekusi yang baik kalau mau sukses,” ujar Helmy kepada Marketeers, Senin (13/6/2022).

Menurutnya, kondisi yang sama juga terjadi pada perusahaan-perusahaan konvensional lainnya tidak hanya startup. Kendati demikian, tingkat keberhasilan startup melanjutkan bisnis yang paling kecil dibandingkan usaha lain.

Pria yang dijuluki Raja Kuis itu memperkirakan tingkat keberhasilan startup hanya 5% hingga 10%. Kecilnya persentase keberhasilan ditengarai lantaran kemampuan bisnis yang kurang mumpuni dari pendirinya.

Startup itu memang kemungkinan berhasilnya itu kan kecil, ada yang mengatakan 5% hingga 10%. Bukan hanya perusahaan rintisan karena banyak faktor gagal perusahaan bisnis itu karena salah pilih partner, salah memilih ide bisnis, dan salah mengembangkan bisnis,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Helmy, kejatuhan startup di Indonesia terjadi karena terlalu mengandalkan suntikan dana investor. Terlebih selama merebaknya pandemi Covid-19 dana dari investor asing yang digelontorkan sangat banyak.

Dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, diperkirakan bakal memengaruhi pola pendanaan. Pemodal akan lebih selektif menanamkan investasinya pada perusahaan yang masih lama mencatatkan laporan keuangan positif.

“Jadi kan banyak teorinya ketika zaman pandemi di beberapa negara banyak melakukan money printing dan kemudian di sana banyak perusahaan diberi investasi tapi kemudian malah justru mati. Pasti mereka akan terbang ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Ini sebenarnya peluang untuk Indonesia, tapi harus diikuti dengan fundamental bisnis yang bagus,” ucapnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nailul Huda, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef). Dia menilai para pendiri startup tidak memiliki grand desain atau peta jalan yang baik kapan mereka akan mendapatkan untung.

Kondisi semakin diperburuk dengan beban gaji karyawan yang sangat besar. Dengan dalih mengejar pertumbuhan market share secara instan, para pendiri startup mau membayar berapa pun karyawan yang telah berpengalaman.

“Mereka tidak punya grand desain atau peta jalan untuk bisa menghasilkan profit sampai tahun kapan. Terus kemudian mereka merekrut ratusan karyawan dengan gaji sangat tinggi, kemudian ketika tahun ini mereka tidak mendapatkan pendanaan mereka kebingungan untuk menjalankan usahanya, bersaing, menghidupi karyawan, dan akhirnya mereka melakukan efisiensi,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS