Blackhat, Menakar Potensi Jakarta di Mata Hollywood

marketeers article
Kemajuan teknologi tak selamanya menjadikan hidup terasa lebih mudah. Justru, paradoksnya, teknologi mampu menciptakan peluang kejahatan yang sulit dilacak. Sudah barang tentu, kejahatan dunia maya atau cyber crime pun menjadi ancaman laten bagi penduduk bumi. Berdasarkan kecemasan inilah, sutradara Michael Mann menciptakan film Blackhat yang dirilis serentak pertengahan Januari 2015.
 
Blackhat bercerita tentang seorang hacker bernama Nicholas Hathaway (diperankan aktor superhero Thor, Chris Hemsworth) yang menjadi narapidana kasus kejahatan cyber di Amerika Serikat (AS). Suatu ketika, AS dan Tiongkok dilanda kasus kriminal berat di dunia maya. Keadaan tersebut memaksa FBI memintan bantuan Nicholas. Sebagai imbalannya, ia boleh bebas apabila mampu mengungkap sindikat yang menjadi dalang dari serangkaian cyber crime yang merugikan negara miliaran dollar Amerika itu.
 
Penelusuran mereka mencari jejak sindikat hacker, membawa Nicholas dan tim mengarungi berbagai belahan dunia, dari Los Angeles, Hong Kong, Kuala Lumpur, hingga berlabuh ke Jakarta. Dilawatannya yang terakhir itu, Nicholas menemukan titik terang akan sumber masalah yang selama ini menjadi ancaman.
 
Ya, film produksi Legendary Pictures ini memang menjadikan Jakarta sebagai lokasi syutingnya. Jika dibandingkan dengan film Hollywood lain yang pernah syuting di Indonesia, nampaknya Blackhat lah yang hingga saat ini paling lama menampilkan wajah nusantara. Berbagai bangunan ciri khas Jakarta, seperti Pasar Tanah Abang, Monumen Nasional, dan Monumen Pembebasan Irian Barat (disebut dalam film ini sebagai Papua's Square) terekam jelas dalam film berdurasi 2 jam 13 menit tersebut.
 
Michael Mann merupakan sutradara kawakan asal AS yang terkenal dengan film-film bertema kejahatan gelap, di antaranya Heat, Insider, Public Enemies, dan The Last of Mohicans. Peraih empat nominasi Oscar ini mengatakan kepada New York Times bahwa dirinya sudah lama ingin membuat film di Asia. Ia mengaku terkejut akan Jakarta yang memiliki populasi belasan juta jiwa dan dikelilingi dengan bangunan arsitektur yang mengagumkan.
 
“Saya ingin menjadikan film ini kaya akan visual, penuh warna dan dinamis,” kata sutradara berusia 71 tahun tersebut.
 
Jakarta memang bukan pertama kali menjadi suguhan di layar Hollywood. Setidaknya sejak tahun 2012, dua film kolaborasi sineas lokal dan Hollywood, yaitu The Raid dan Java Heat, sukses memperkenalkan Jakarta ke level dunia. Bahkan, sejak tahun 1996, Jakarta masuk dalam kandidat lokasi syuting film James Bond 007: Tomorrow Never Dies. Namun karena sulitnya birokrasi saat itu, membuat film yang didanai Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) ini urung untuk syuting di Ibu Kota. Padahal, film yang telah memiliki 23 seri ini telah syuting di negara ASEAN lain, seperti Kamboja, Filipina, Thailand, dan Malaysia.
 
Sebab itu, kehadiran Blackhat diharapkan dapat menumbuhkan kembali minat Hollywood menjajal Ibu Kota. Dengan begitu, kunjungan wisatawan mancanegara ke Jakarta pun dapat meningkat. Selain itu, citra Jakarta akan semakin baik di mata masyarakat internasional. Tentu saja di luar dari predikatnya sebagai Kota Termacet di dunia.
 
Apalagi, Ibu Kota menawarkan pasar menjanjikan bagi Hollywood. Dengan penduduk mencapai 12,7 juta pada siang hari dan 9,9 juta pada malam hari, Jakarta memiliki jumlah kelas golongan mampu paling besar se-Indonesia. Pada tahun 2012, pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (US$ 12,270). Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp 240,62 juta per tahun (US$ 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. 
 
Terlebih, sejumlah survei mengatakan konsumen kelas menengah di Indonesia diprediksi tumbuh 68,2% hingga tahun 2020 atau mencapai 141 juta jiwa. Khusus Jakarta, angkanya meroket menjadi 30 juta jiwa dalam kurun waktu delapan tahun.
 
Yang juga menjadi keuntungan bagi Hollywood adalah perilaku konsumtif masyarakat Jakarta perihal pengeluaran gaya hidup. Dengan pendapatan berada di level Rp 5 – 10 juta, masayarakat Jakarta bisa menghabiskan Rp 2 juta untuk konsumsi hiburan, salah satunya untuk bioskop. Apalagi, operator bioskop dalam negeri tengah berkomitmen meningkatkan jumlah layar menjadi di atas 3.000 dalam sepuluh tahuh mendatang.
 
Tentu berbagai spekulasi itulah yang membuat Hollywood mulai melirik ekspansi pasar penonton baru di luar Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serikat). Terlepas dari dua negara itu, Tiongkok dan sekitarnya (Hong Kong dan Taiwan) yang paling intens menjadi lokasi syuting film Hollywood. Wajar saja, negara tersebut secara akumulatif berpenghuni 1,4 miliar jiwa. Jika 10%-nya saja menonton film di bioskop, pasarnya sudah mencapai 140 juta.
 
Selain lokasi, hal yang membuat penonton tertarik untuk menyaksikan suatu film adalah keberadaan bintang lokalnya. Seperti pada film Blackhat yang menggandeng aktor sekaligus musisi populer Tiongkok Wang Leehom (sebagai Chen Dawai) dan aktris Taiwan Lin Wei (Chen Lie).
 
Ekspansi Hollywood ke Tiongkok dan Jakarta semakin mempertegas tujuan bisnis mereka. Menurut temuan perusahaan riset box office Rentak, penjualan tiket bioskop di Amerika Utara pada tahun 2014 turun 4% dari tahun lalu. Pencapaian ini bahkan yang terendah sejak tahun 2000. Diharapkan, tak hanya Jakarta saja yang disambangi aktris dan aktor Hollywood, melainkan juga daerah lain di Indonesia. Mengingat Indonesia memilki banyak bentang alam unik yang patut ditonjolkan sebagai aset pariwisata dunia.

Related

award
SPSAwArDS