CIPS: Implementasi Kebijakan UU Cipta Kerja Perlu Evaluasi Presiden

marketeers article
CIPS: Implementasi Kebijakan UU Cipta Kerja Perlu Evaluasi Presiden (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai implementasi kebijakan dalam Undang-Undang Cipta Kerja perlu menjadi evaluasi Presiden Joko Widodo (Jokowi). CIPS menyoroti sejumlah konsep yang perlu dievaluasi dalam penerapannya.

“UU Cipta Kerja memperkenalkan dua konsep yang sangat penting di bidang ekonomi yang efektivitasnya perlu dikawal supaya berdampak pada pertumbuhan ekonomi,” kata Associate Researcher CIPS, Krisna Gupta dalam siaran persnya, Senin (31/10/2022).

Konsep pertama adalah Risk-Based Assessment (RBA) untuk memulai investasi baru. Konsep ini menilai risiko di berbagai industri dan izin investasi di industri.

Makin rendah profil risiko dari industri tersebut, maka persyaratan yang dilengkapi juga relatif lebih mudah. RBA dilakukan secara satu pintu melalui aplikasi Online Single Submission (OSS).

Selanjutnya adalah Neraca Komoditas yang diharapkan dapat menyediakan data supply-demand yang akurat dan akan digunakan untuk menentukan kuota ekspor dan impor. Neraca Komoditas juga akan menghilangkan syarat rekomendasi teknis dari Kementerian yang berpotensi mengurangi waktu tunggu perizinan ekspor impor, sesuatu yang sering dikeluhkan industri terutama yang membutuhkan bahan baku impor.

Krisna menjelaskan implementasi RBA, OSS maupun Neraca komoditas perlu terus dikawal penerapannya karena implementasi kebijakan satu pintu memerlukan koordinasi yang jauh lebih ketat di tingkat Kementerian/Lembaga dan Pemda. Ada satu saja K/L yang tidak bekerja sama dengan baik, maka penerapan izin satu pintu tidak akan berjalan dengan baik.

Analisis risiko untuk tiap KBLI juga tidak ideal. Pasalnya, risiko di KBLI yang sama bisa jadi berbeda untuk lokasi dan level investasi yang berbeda.

Sementara itu, Neraca Komoditas saat ini telah diujicobakan untuk lima komoditas yaitu beras, gula, garam, daging sapi dan produk perikanan. Sejauh ini sepertinya tidak ada masalah. Namun perluasan implementasinya ke komoditas lain di 2023 perlu diwaspadai.

“Pengalaman dari karut marut minyak sawit awal tahun ini seharusnya mengajarkan bahwa ketersediaan data tanpa adanya analisis ekonomi yang baik tidak cukup untuk mengatasi masalah perdagangan,” ucapnya.

Di sisi lain, pemerintah semakin mendorong hilirisasi ekonomi yang cenderung mengandalkan kebijakan proteksionis. Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) makin diperluas dan diperdalam, terutama dalam pengadaan belanja pemerintah.

Larangan ekspor nikel diperlakukan dengan lebih agresif untuk menarik minat investor asing untuk membangun industri hilir di dalam negeri. Kebijakan larangan nikel tampak menjanjikan dilihat dari tingginya investasi asing, ekspor turunan dan lapangan kerja.

“Namun jangan lupa bahwa larangan ini terjadi di tengah naiknya harga nikel dunia, sehingga harga nikel domestik yang murah tentu sangat menarik. Belum lagi ditambah berbagai insentif tambahan seperti libur pajak,” tuturnya.

Krisna juga menyebut penggunaan Food Estate sebagai solusi ketahanan pangan, alih-alih menggunakan impor, tidak selalu ideal mengingat tidak semua tanaman pangan dan hortikultura bisa tumbuh dengan baik di Indonesia. Pembukaan lahan dikhawatirkan menimbulkan dampak lingkungan yang tidak sesuai dengan pertanian berkelanjutan.

Padahal pertanian berkelanjutan sangat penting untuk mengurangi dampak sektor pertanian pada alam dan untuk mengadaptasi krisis iklim.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS