CIPS: Pembatasan E-Commerce Asing Lemahkan Pasar Domestik

marketeers article
Ilustrasi belanja online (Sumber: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan bahwa pembatasan operasi perusahaan e-commerce asing di Indonesia malah akan melemahkan pasar domestik. Kehadiran mereka seharusnya bisa mendorong perusahaan e-commerce lokal untuk terus meningkatkan kualitas layanan dan produk.

“Ada anggapan bahwa perusahaan e-commerce asing selalu dapat menjual barang dengan harga lebih murah. Hal ini seharusnya disikapi positif. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan bahan baku yang digunakan UKM supaya kualitas produknya meningkat dan mampu bersaing di pasar domestik dan internasional,” jelas Pingkan Audrine Kosijungan, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/6/2022).

Pingkan menyebut, harga yang didapat dengan mengurangi biaya produksi yang tidak efisien adalah sebuah proses wajar untuk mendorong efisiensi dalam skala yang lebih besar. Jika sebuah unit usaha mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar hanya karena produktivitasnya yang tinggi atau manajemen biaya yang cerdas, tentu hal ini tidak termasuk kecurangan usaha.

Sebaliknya, dukungan terhadap UKM harus menjadi fokus dari revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Mengurangi hambatan masuk ke pasar digital bagi mereka dengan mempertimbangkan kembali persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online akan sangat memudahkan mereka.

“Dukungan untuk UKM dengan tidak mewajibkan mereka dari persyaratan SIUPMSE adalah strategi yang jauh lebih dapat dibenarkan untuk membantu mereka mengembangkan bisnis dan meningkatkan produktivitas mereka,”

Penelitian CIPS merekomendasikan, Kementerian Perdagangan RI perlu merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 terkait sanksi administratif untuk bisnis online informal dan membebaskan UKM online dengan situs web bisnis mereka sendiri dari persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE). Kemudahan ini akan mendorong UKM untuk memasuki pasar digital dan mendapatkan manfaat dari transformasi ekonomi menuju digital.

Pingkan menambahkan, upaya untuk formalisasi bisnis online melalui PP 5/2021, PP 5/2019 dan Permendag 50/2021 harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan migrasi penjual ke platform yang kurang aman, seperti berjualan melalui media sosial, yang dapat merugikan konsumen.

UKM yang menjalankan website mereka sendiri juga dapat dibebaskan dari kewajiban untuk mendapatkan SIUPMSE. Kegagalan mendapatkan SIUPMSE akan berdampak pada UKM, yang biasanya memang menunjukkan kesadaran yang lebih rendah akan kewajiban perizinan.

SIUPMSE untuk UKM dapat ditawarkan sebagai lisensi non-wajib. Kementerian Perdagangan dapat melakukan beberapa langkah, misalnya, memberikan insentif berupa pemberian “label” atau sertifikat terdaftar atau bersertifikat bagi mereka yang bersedia memperoleh SIUPMSE untuk membantu branding digital mereka.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related

award
SPSAwArDS