Oleh: Prof. Dr. Dita Amanah, MBA, Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
Dalam dunia marketing modern yang serba digital, pernyataan “Data is King” telah menjadi mantra utama. Setiap klik, interaksi, hingga durasi scroll konsumen dianalisis secara mendalam untuk mengungkap pola perilaku, preferensi, dan potensi pembelian.
Di satu sisi, data memang menjadi senjata ampuh. Dengan dukungan teknologi seperti artificial intelligence, machine learning, dan marketing automation, perusahaan mampu menargetkan audiens secara lebih presisi, mengoptimalkan biaya kampanye, dan meningkatkan conversion rate.
Namun di sisi lain, semakin banyak brand yang menyadari bahwa pendekatan berbasis data semata, tanpa sentuhan empati, tidak cukup untuk memenangkan hati konsumen.
Inilah realitas baru pemasaran: bahwa masa depan marketing bukan hanya soal akurasi, tapi juga tentang keterhubungan emosional. Data adalah raja yang mengatur strategi, tetapi empati adalah ratu yang membangun kepercayaan dan loyalitas.
BACA JUGA: Manfaat Intent Data untuk Strategi Penjualan yang Efektif
Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap kejenuhan konsumen terhadap pendekatan marketing yang terlalu “dingin” dan terkesan manipulatif.
Konsumen kini bukan hanya objek yang dibidik melalui segmentasi pasar, melainkan manusia dengan kebutuhan, nilai, dan emosi yang kompleks.
Terlalu sering, brand menggunakan data untuk “mengejar” konsumen, bukan memahami mereka.
Ini menciptakan pengalaman yang invasif dan tidak menyenangkan. Contoh sederhana: iklan yang terus muncul setelah kita mengunjungi satu situs produk, tanpa mempertimbangkan konteks atau sensitivitas pengguna.
Di sinilah empati berperan—sebagai kemampuan brand untuk memahami perasaan, situasi, dan kebutuhan audiens secara lebih manusiawi.
Gabungan antara data dan empati bukan hal yang saling bertentangan, justru saling melengkapi.
Data memberikan peta, empati memberikan arah. Dengan memadukan keduanya, brand bisa menciptakan pengalaman pelanggan yang bukan hanya relevan, tetapi juga berkesan. Misalnya, sebuah platform e-commerce bisa menggunakan data perilaku pelanggan untuk menyarankan produk yang relevan, namun menyampaikannya dengan cara yang lebih personal dan hangat, bukan seperti robot yang menyodorkan algoritma.
Dalam dunia yang semakin digital, pendekatan yang hangat dan berempati justru menjadi diferensiasi yang sangat dibutuhkan.
BACA JUGA: Taro Rangers Camp, Asah Kreativitas dan Empati Anak
Di Indonesia, keseimbangan antara data dan empati dalam strategi marketing masih menjadi tantangan besar.
Banyak pelaku bisnis, khususnya UMKM dan brand lokal, masih berada di tahap awal dalam pemanfaatan data. Mereka cenderung mengandalkan intuisi atau pengalaman pribadi dalam membuat keputusan pemasaran.
Di sisi lain, perusahaan besar yang sudah mulai menerapkan big data kadang terjebak pada angka dan metrik semata, mengabaikan nuansa sosial dan kultural yang penting dalam konteks Indonesia yang sangat beragam. Padahal, kekuatan pemasaran di Indonesia terletak pada kemampuannya menyentuh sisi emosional masyarakat yang sangat menjunjung nilai kekeluargaan, komunitas, dan keaslian.
Untuk menjawab tantangan ini, ada beberapa masukan strategis yang bisa diterapkan oleh pelaku marketing di Indonesia.
Pertama, brand perlu membangun tim marketing yang tidak hanya mahir membaca data, tetapi juga peka terhadap konteks sosial dan budaya. Data bisa menunjukkan bahwa konsumen menyukai konten video pendek, tetapi empati dibutuhkan untuk memahami bagaimana menyampaikan pesan tersebut dalam bahasa yang sesuai, tidak menyinggung, dan justru mempererat hubungan.
Kedua, gunakan data bukan hanya untuk menjual, tetapi untuk mendengarkan. Banyak brand masih menggunakan survei atau analytics hanya untuk validasi strategi mereka sendiri, bukan untuk benar-benar memahami perubahan sikap atau keresahan konsumen. Di era media sosial, mendengarkan bisa berarti meresponS komentar, menangkap tren percakapan, dan membangun dialog dua arah.
BACA JUGA: Digital Marketing Tak Cukup, Omnichannel Jadi Solusi
Ketiga, latih brand voice agar lebih manusiawi. Ketika berkomunikasi dengan konsumen, baik melalui media sosial, iklan, atau layanan pelanggan—gunakan bahasa yang jujur, sopan, dan empatik. Tidak semua masalah harus dijawab dengan skrip. Tanggapan yang tulus bisa menciptakan loyalitas jangka panjang yang tidak bisa dibeli dengan diskon.
Keempat, bangun narasi yang mengangkat nilai, bukan hanya fitur produk. Di Indonesia, cerita yang menyentuh emosi—baik tentang perjuangan, harapan, atau keberpihakan terhadap nilai tertentu—lebih mudah membangun koneksi dibanding sekadar promosi hard selling.
Banyak brand besar mulai mempraktikkan pendekatan ini. Tokopedia, misalnya, menggunakan data untuk memahami preferensi pengguna, tetapi juga menyampaikan kampanye dengan narasi yang empatik dan relevan dengan kondisi masyarakat, seperti kampanye “Waktu Indonesia Belanja” yang bukan hanya mendorong transaksi, tetapi juga merayakan semangat gotong-royong pelaku UMKM.
Di sisi lain, brand seperti Wardah konsisten menghadirkan narasi keindahan yang tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual dan sosial, yang sangat resonan di tengah konsumen Muslim Indonesia.
Selain itu, penting juga bagi pelaku usaha di Indonesia untuk mengadopsi prinsip inklusivitas dalam pemasaran, baik secara geografis maupun sosial.
Dengan data, brand bisa melihat mana wilayah yang belum tersentuh promosi atau layanan mereka.
BACA JUGA: Menggali Tren Digital Marketing 2025 lewat Marketeers Tech for Business
Tapi dengan empati, mereka bisa menyesuaikan pendekatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal, misalnya promosi berbasis komunitas, atau penggunaan bahasa daerah. Ini bukan sekadar strategi, tetapi bentuk penghormatan terhadap keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia.
Pada akhirnya, keseimbangan antara data dan empati akan menjadi kunci masa depan marketing yang berkelanjutan.
Brand yang hanya mengandalkan data tanpa empati akan kehilangan sentuhan manusiawi dan terasa seperti mesin.
Sementara brand yang hanya mengandalkan empati tanpa data akan tertinggal dalam efektivitas dan efisiensi.
Masa depan ada di tengah-tengah: ketika data menjadi pondasi yang kokoh dan empati menjadi jembatan yang menghubungkan brand dengan hati konsumennya.
Di dunia yang penuh disrupsi, keseimbangan inilah yang akan menjaga relevansi dan membangun kepercayaan jangka panjang.
Bagi para pemasar di Indonesia, kini saatnya meninggalkan dikotomi, dan mulai membangun harmoni antara kecerdasan buatan dan kepekaan manusia.
Editor: Eric Iskandarsjah Z