Terkuak Motif Newmont Menjual Sahamnya di Indonesia

marketeers article

Newmont Mining Corporation beraliansi dengan Sumitomo Corporation mengoperasikan tambang tembaga dan emas Batu Hijau di Pulau Sumbawa, NTB. Lokasi tambang yang merupakan salah satu lumbung tembaga terbesar di Indonesia itu telah menjadi usaha yang menguntungkan bagi Newmont sejak mulai beroperasi pada tahun 2000.

Akan tetapi, menjaga kapasitas produksi tentu memerlukan investasi yang besar. Di sisi lain, Newmont dihadang oleh peraturan pemerintah Indonesia yang dianggapnya memberatkan, ditambah dengan ketidakpastian tentang masa depan kontrak operasionalnya di dalam negeri.

Jorge Beristain, analis tambang dari Deutsche Bank memperkirakan Newmont membutuhkan sekira US$ 1,6 miliar untuk melakukan ekspansi penambangan berikutnya. Perusahaan itu mengatakan beban pinjaman akan menjadi lebih baik apabila ia menjual tambangnya di Batu Hijau.

Aksi penjualan saham Newmont sebesar 48,5% kepada PT Amman Mineral Internasional yang mayoritas sahamnya bakal dimiliki oleh Medco Energy, dinilai wajar oleh perusahaan asal Colarado, Amerika Serikat itu.

Sebab, Newmont berdalih keputusan tersebut sesuai dengan prioritas strategis perusahaan untuk menurunkan utang, mendanai proyek-proyek bermarjin tinggi, serta menciptakan value bagi pemegang saham.

(Baca Juga: Selangkah Lagi Medco Caplok Saham Newmont)

“Tujuan kami adalah untuk membangun sebuah portofolio yang berkehidupan panjang, pengelolaan aset yang rendah biaya, serta risiko teknis, sosial, dan politik yang dapat kami kelola,” kata CEO Newmont Gary Goldberg seperti dikutip dari WallStreetJournal.com.

Sebelumnya, beberapa analis mengatakan bahwa upaya Newmont menjual sahamnya di Indonesia juga menunjukkan kekhawatiran tentang prospek jangka panjang industri pertambangan di negeri ini.

Besarnya kandungan tembaga, nikel, dan batubara yang ada di Bumi Pertiwi memang telah memikat para penambang asing ke Indonesia selama puluhan tahun. Dunia pertambangan pun telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Akan tetapi, isu nasionalisme yang bergejolak, serta keinginan di antara beberapa pemangku kepentingan untuk mengambil kendali sumber daya alam tersebut, telah meningkatkan risiko bisnis penambang asing di Indonesia.

Aturan yang dikeluarkan dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong para penambang asing untuk melakukan divestasi saham mayoritas, membayar royalti dan pajak yang tinggi, serta keharusan berinvestasi pada smelter atau pengolahan mineral mentah.

Selain itu, lewat sebuah aturan hukum, penambang yang ada di Indonesia dituntut untuk mengubah kontrak kerja jangka panjang mereka menjadi kontrak berbasis perizinan.

Analis dan para penambang menilai bahwa aturan tersebut tak masuk akal di saat perusahaan tambang dunia secara global mengevaluasi kembali investasi mereka, serta dikala Indonesia sedang mencoba menarik masuknya modal asing.

Setelah aturan penundaan izin ekspor mineral mentah diberlakukan pada Juli 2014 silam, Newmont tak dapat melakukan ekspor dan kemudian menyatakan “force majeure” pada kontrak yang ada.

Adanya regulasi pemerintah tersebut mengakibatkan saat itu dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau. Hal itu katanya menimbulkan kesulitan serta kerugian ekonomi terhadap para karyawan Newmont, kontraktor, dan para shareholder lainnya.

Terkait larangan ekspor itu, Newmont sempat mengajutan gugatan ke arbitrase internasional, yaitu The International Center for the Settlement of Investment Disputes. Ia ingin agar ekspor konsentrat tembaga tetap berjalan sehingga kegiatan tambang Batu Hijau dapat beroperasi kembali.

Keterlambatan dalam eskpor tembaga pada tahun 2015 menyebabkan pendapatan Newmont pada kuartal keempat tahun lalu anjlok 10% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Mengomentari hal itu, Menteri Keuangan M. Chatib Basri menegaskan, total ekspor mineral keseluruhan, termasuk dari Newmont dan Freeport hanya 5,3% dari total ekspor.

Karena itu, imbuhnya, tanpa ekspor yang dilakukan kedua perusahaan itu, neraca perdagangan Indonesia masih bisa surplus.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related

award
SPSAwArDS