Dilema Perhutani, Maju Kena Mundur Kena

marketeers article

Perum Perhutani dihujani komentar miring pasca kasus pencurian kayu oleh seorang nenek. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor kehutanan ini dianggap tidak memiliki rasa empati terhadap Asyani, nenek berusia 63 tahun, yang ditengarai telah merugikan negara senilai kurang dari lima juta rupiah. Kasus yang terjadi di Situbondo ini mengakibatkan sang nenek terancam kurungan lima tahun penjara.

Meluruskan pemberitaan yang kerap menyudutkan pihaknya, Perum Perhutani angkat suara. Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar menjelaskan awal duduk perkara yang mengantar BUMN ini ke dalam kondisi serba salah. “Bukan persoalan nilai kerugiannya. Undang-Undang yang mengharuskan Perhutani melaporkan setiap kehilangan yang ada di hutan. Kalau kami tidak melaporkan akan kena pidana,” ungkap Mustoha di Jakarta, Senin (16/3/2015).

Kasus ini berawal dari laporan kehilangan kayu oleh Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Besuki, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bondowoso Jawa Timur pada bulan Juli 2014. Menjadi kewajiban Perhutani untuk melaporkan kehilangan aset negara. Pasalnya, pejabat yang melakukan pembiaran terhadap terjadinya pembalakan liar dan tidak melapor justru akan mendapatkan ancaman pidana. Tidak tanggung-tanggung, ancaman itu berupa kurungan minimal 6 bulan dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 7,5 miliar.

“Dalam laporan itu, Perum Perhutani tidak melaporkan si A, si B, atau si C. Karena itu bukanlah tangkap tangan,” kata Mustoha. Menurutnya, Perhutani hanya melaporkan kepada pihak kepolisian terkait hilangnya pohon di hutan. Tersangka ditetapkan berdasarkan pengembangan kasus yang dilakukan oleh penyidik dari kepolisian.  Di samping itu, tidak hanya Asyani, ada tiga orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Ruslan (menantu Asyani), Abdus Salam (pemilik kendaraan pengangkut kayu), dan Cipto (tukang kayu).

Banyak pihak yang berharap Perhutani menangguhkan penahanan Asyani. Namun, secara hukum formal hal ini tidak bisa dilakukan. “Secara yuridis formal, permintaan penangguhan penahanan harus dari pihak keluarga, bukan di pihak Perhutani. Tapi dari perspekstif sosiologis, Perhutani tidak keberatan karena sudah dijamin oleh Bupati Situbondo,” kata Mustoha.

Lima tahun terakhir, Perum Perhutani mengalami kerugian akibat kehilangan pohon mencapai Rp 144 miliar. Kasus Asyani menjadi salah satu yang terungkap. Sosok Asyani mendapat dukungan dari masyarakat karena sisi humanis yang terkandung di dalamnya. Diharapkan kejadian ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Masyarakat harus lebih sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya.  

Related

award
SPSAwArDS