Dugaan Teten Masduki soal Sepinya Pasar Tanah Abang

marketeers article
Ilustrasi sepinya pasar Tanah Abang. Sumber gambar: Humas KemenKop UKM.

Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menduga sepinya pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat terjadi lantaran maraknya produk impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Kondisi tersebut diperburuk dengan ketatnya persaingan di bisnis dalam penjualan online.

Teten mengatakan untuk mengatasi permasalahan itu, perlu adanya perlindungan terhadap ekonomi domestik termasuk bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) melalui keberpihakan regulasi di bidang transformasi digital. Termasuk pula kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, dan kebijakan persaingan usaha.

BACA JUGA: Lewat Koponten, Teten Masduki Bakal Ciptakan 10 Ribu Santripreneur

Teten menyebut pasar Tanah Abang pernah menjadi pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara. Namun, di era digital, pasar yang telah ada sejak tahun 1735 itu, para pedagangnya, mengalami tantangan berat dalam hal perubahan perilaku pasar dari offline ke online dan serbuan produk asing.

“Jadi isunya bukan pedagang offline kalah dengan mereka yang online, namun bagaimana UKM yang sudah go online harus memiliki daya saing dan mendorong produk lokal untuk tumbuh dan berkembang,” kata dia melalui keterangannya, Rabu (20/9/2023).

BACA JUGA: RUU Perkoperasian, Teten Masduki Pastikan Koperasi Makin Kuat

Menurutnya, transformasi digital yang berkembang harus dinavigasi sehingga disrupsi dapat terjadi dengan lebih moderat dan tidak tumbuh secara liar. Sejak berlaku efektif pada 25 Agustus 2023, Uni Eropa misalnya telah menerbitkan regulasi khusus terkait layanan digital, demikian juga India, Cina, dan Amerika Serikat (AS) yang merilis kebijakan serupa.

Dalam konteks Indonesia, Teten mengatakan digitalisasi mendatangkan dampak yang besar, baik negatif maupun positif. Jika tidak ditopang dengan regulasi yang baik, maka digitalisasi akan menjadi ancaman bagi pelaku ekonomi domestik.

Dia memantau para pedagang di pasar Tanah Abang mengalami penurunan omzet rata-rata lebih dari 50%. Meskipun mereka juga sudah melakukan transformasi dalam berjualan dengan memasarkan produknya secara online, namun tetap saja sulit bagi sebagian besar mereka untuk bisa meningkatkan kembali omzet usahanya.

“Kami sudah melakukan diskusi pasar, mereka mengalami penurunan penjualan. Meskipun pada waktu tertentu ada peningkatan tetapi bisa dipastikan ini dampaknya bisa permanen,” katanya.

Teten menekankan pentingnya untuk memproteksi atau melindungi ekonomi domestik agar pasar digital Indonesia yang potensinya sangat besar tidak dikuasai oleh asing. Adapun salah satu langkah yang mendesak saat ini, yakni merealisasikan kebijakan transformasi digital dari sisi investasi, perdagangan, maupun persaingan usaha.

Data menunjukkan pertumbuhan pasar perdagangan elektronik cukup pesat. Menurut data Bank Indonesia (BI) nilai transaksi perdagangan elektronik di Indonesia pada 2022 mencapai Rp 476 triliun.

Selanjutnya, dari sisi volume transaksi tercatat 3,49 miliar kali. Nilai transaksi perdagangan elektronik pada 2022 lebih tinggi 18,8% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 401 triliun.

Dengan data pertumbuhan perdagangan elektronik yang demikian, Teten memastikan digitalisasi harus memberikan manfaat bagi masyarakat terutama pelaku UKM. Pasar belanja online Indonesia harus memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha lokal, bukan produsen dari negara lain.

“Belum lagi, program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan UKM di Indonesia akan terganggu bila barang-barang dari luar masuk begitu mudahnya,” ujar Teten.

Sementara itu, Juliarti, salah satu pemilik usaha toko baju wanita di Tanah Abang mengaku pendapatannya menurun hingga 50% sejak musim Lebaran 2023 hingga sekarang. Bahkan, dia telah mencoba berjualan online namun tetap saja sepi pembeli.

Ia mengatakan sudah berjualan di Tanah Abang selama sepuluh tahun lebih, dan memang saat ini dampaknya yang paling terasa. Juliarti sebenarnya tidak keberatan dengan keberadaan e-commerce. Akan tetapi memang harus adil, dan harganya sesuai dengan yang ada di pasar.

“Jualan online dan offline sama-sama sepi, bahkan menurun secara drastis. Pendapatan terus berkurang, tetapi harga sewa terus naik. Saya pun pernah ambil bahan baku sampai utang,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related

award
SPSAwArDS