Empat Jurus Pemerintah Angkat Desa Tertinggal

marketeers article

Setelah berhasil dengan program dana desa yang berlangsung dua tahun, desa-desa di Indonesia tampak makin keluar dari nasib ketertinggalannya. Dulu, desa dianggap sebagai areal tidak mampu dan sekarang berkat digelontorkannya dana desa, desa mulai mengolah modal produktif tersebut untuk bangkit dari ketertinggalan. Pada tahun 2015, pemerintah menggelontorkan Rp 20,8 triliun. Dana tersebut dinaikkan menjadi Rp 46,98 triliun pada tahun 2016.

Salah satu hasil dari dana tersebut adalah desa-desa mampu membangun jalan sepanjang lebih dari 66.000 km pada tahun 2016. Menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo, fakta tersebut tidak pernah ada dalam sejarah pembangunan di Indonesia. Selain itu, menurut Eko, desa mampu membangun lebih dari 37.000 MCK, lebih dari 38.000 unit turap penahan tanah longsor. Dengan itu, sambung Eko, bencana El Nina hanya menimpa tiga desa saja di Indonesia.

“Selain itu, desa mampu membangun lebih dari 40.000 unit drainase air yang bermuara ke saluran irigasi dan 15.000 saluran irigrasi tersier. Sementara itu, pertanian juga naik luar biasa. Pada tahun ini, kita sudah tak impor beras lagi dan berharap tidak impor jagung lagi dan tahun depan mulai mengekspornya,” ujar Eko.

Presiden Joko Widodo, sambung Eko, tidak mau puas dengan  pencapaian sekarang ini. Pemerintah sudah menyiapkan empat program unggulan. Program pertama adalah Prukades – singkatan dari Program Unggulan Desa. Pada dasarnya, program ini membuat klasterisasi desa sehingga desa-desa menjadi fokus mempunyai komoditas tertentu agar memiliki skala produksi yang besar. Dengan skala produksi yang besar, biaya produksi para petani bisa ditekan dan jalur distribusi yang biasanya panjang bisa dipotong.

“Yang paling penting, dengan skala produksi yang besar, sarana paska panen bisa dibawa ke desa-desa. Dengan sarana paska panen, petani mendapat jaminan harganya tidak jatuh karena ada yang menampung dan biaya transportasinya menjadi murah,” katanya.

Program kedua adalah program embung air desa. Menurutnya, banyak desa-desa di Indonesia yang belum memiliki embung air, sebanyak 45% dari total desa. Jadi, Indonesia seharusnya bisa menanam tiga kali setahun karena letaknya di daerah tropis.

Namun, pada kenyataannya sekarang, para petani hanya bisa menanam 1,54 kali lantaran sebagian desa-desa belum memiliki sumber air pada saat musim kemarau. Dengan adanya embung ini, masyarakat bisa menanam tiga kali dan panen tiga kali sehingga pendapatan mereka bisa naik dua sampai tiga kali lipat.

Program embung air yang diklaim berhasil adalah di daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dompu beberapa tahun ke belakang merupakan daerah tertinggal. Berkat program tersebut, Dompu pada tahun lalu mampu memproduksi jagung 2.500 ton jagung. Dengan harga jagung rata-rata Rp 3.000 per kilo, masyarakat Dompu dari tidak ada pemasukan dari jagung, tahun lalu meraih pendapatan dari jagung sekitar Rp 750 miliar. Tahun depan, Eko optimistis masyarakat Dompu mampu meningkatkan pendapatanya dari jagung sebesar Rp 2,3 triliun. Pendapatan ini tentunya belum dihitung dari komoditas lain, seperti beras, padi, maupun tebu.

“Model tersebut akan kami kloning untuk diterapkan di daerah-daerah lain. Semoga, dalam waktu lima tahun ke depan, sudah tidak ada desa-desa tertinggal lagi di Indonesia,” katanya.

Upaya tersebut, kata Eko, dalam rangka mencapai target yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) hingga tahun 2019 untuk mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang dan 2.000 desa berkembang menjadi desa maju.

“Dengan keberhasilan dana desa, tahun lalu, target tersebut dilampaui. Dari target mengentaskan 5.000 desa tertinggal menjadi berkembang, pemerintah berhasil mengentaskan 11.000 desa tertinggal menjadi desa berkembang. Dari target menjadikan 2.000 desa menjadi desa maju, tahun lalu, kami berhasil mengubah 7.000 desa maju baru di Indonesia,” katanya.

Program tersebut terus digenjot dengan program berikutnya, yakni Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan suntikan dana desa dari Rp 46,8 triliun pada tahun 2016 dan meningkat menjadi Rp 60 triliun pada tahun ini. Pada tahun 2018, kata Eko, Presiden Jokowi menjanjikan Rp 120 triliun. Harapannya, dana tersebut tidak menjadi sumber utama pembangunan desa, tetapi desa harus kreatif menciptakan sumber pendapatannya sendiri. “Desa harus memiliki sarana ekonomi sendiri yang mampu membuat dirinya mandiri secara finansia; dan membuka lapangan kerja,” katanya.

Saat ini, BUMDes sudah berkembang cukup pesat – dari 2.000 unit BUMDes pada tahun 2015 menjadi 8.000 BUMDes. Dari jumlah itu, ada sekitar 4.000 BUMDes yang sudah terbilang untung – dari Rp 100 juta hingga keuntungan bersih di atas Rp 10 miliar. BUMDes yang memiliki omzet tertinggi pada tahun 2016 adalah BUMDes Ponggok, Klaten, Jawa Tengah sebesar Rp 10,3 miliar dengan usaha di sektor wisata. Disusul dengan BUMDes Tirtonirmolo, Bantul, Yogyakarta dengan omzet sebesar Rp 8,7 miliar.

Pada dasarnya, BUMDes ini memiliki tiga tujuan utama, yakni menyediakan pendanaan, meningkatkan kapasitas produksi, dan memperluas akses pasar.

“Dengan mengawal program ini secara ketat dan kontinu, desa-desa bisa makin maju dan mendukung perekonomian nasional,” pungkasnya.

Related

award
SPSAwArDS