Fenomena Go-Food: Indonesia Cashless Setengah-Setengah

marketeers article

Unik. Begitulah kata yang tepat mendeskripsikan pasar perdagangan online di Indonesia. Banyak data yang menyebut bahwa e-commerce akan menjadi bisnis dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia. Akan tetapi, gaya berbelanja online itu tidak serta-merta membuat cara membayarnya menjadi online.

Fenomena Go-Food bisa menjadi studi unik dari pasar perdagangan online Indonesia, khususnya di perkotaan. Di tengah kemacetan yang kian tak terselesaikan, konsumen ingin sesuatu yang convenience dalam memenuhi needs & wants-nya. Tak ayal, online delivery menjadi bisnis yang berkembang saat ini.

Sebenarnya, online delivery services atau jasa pengiriman barang belanjaan sudah ada sejak lama di Indonesia. Jaringan makanan cepat saji bisa dibilang sebagai pihak yang mempopulerkan layanan tersebut sebagai bagian dari unique selling proposition di tengah persaingan ketat pemain fast-food. Orang tidak hanya ingin makanan cepat disajikan, melainkan juga cepat diantar ke depan mata agar bisa segera disantap.

Namun, tidak selamanya bisnis ini memberikan kemakmuran bagi pemain di dalamnya. FoodPanda Indonesia yang di-backing oleh Rocket Internet menutup layanannya pada tahun 2016 setelah empat tahun beroperasi. Salah satu poin kegagalan FoodPanda adalah mereka tak mampu bersaing menyaingi armada yang dimiliki Go-Jek dan Grab. Dengan armada yang mencapai ratusan ribu, mereka memilik jangkauan pasar yang lebih luas dan mitra yang lebih banyak.

Lantas apa yang unik dari layanan online delivery di Indonesia? Metode pembayaran yang ditawarkan. Jika di negara maju seperti Amerika, layanan serupa hanya memberikan cara pembayaran melalui online (berupa kartu kredit atau PayPal). Namun di Indonesia, konsumen bisa membayarnya melalui berbagai cara, entah itu Cash-on-Delivery (COD) hingga bayar melalui dompet digital semacam GoPay atau OVO.

Go-Jek yang cukup irit bicara jika ditanya soal angka mengklaim bahwa layanan online food delivery-nya, GoFood, menguasai 95% pangsa pasar di Indonesia. Angka ini mungkin bisa benar adanya karena Go-Jek digunakan oleh 15 juta pengguna aktif mingguan yang dilayani oleh 900 ribu mitra pengemudi Go-Jek. Setiap bulannya, lebih dari seratus juta transaksi dilalukan di platform Go-Jek.

Tentu armada yang besar dengan jumlah merchant yang banyak (sekitar 250 ribu merchant), membuat pundi pendapatan yang lumayan bagi pemain online delivery services. Mereka tidak hanya memperoleh komisi -yang biasanya 15%-25%- dari mitra mereka per menu yang dipesan, melainkan juga biaya delivery yang dibayar langsung konsumen.

Pihak konsumen akan dikenakan ongkos kirim Rp 3.000-Rp 4.000 per km jika membayar dengan uang tunai. Namun, jika mereka membayar menggunakan Go-Pay, terkadang Go-Jek memberikan free delivery untuk menu-menu tertentu.

Go-Jek tentu memberikan sinyal hati-hati bagi HappyFresh, startup layanan pesan antar kebutuhan sehari-hari yang hadir sejak 2016. Pasalnya, Go-Jek telah menyiapkan pesaing langsung HappyFresh melalui Go-Mart. Agar mampu bersaing, startup itu baru-baru ini menerima timangan dari rival Go-Jek, yakni Grab.

Melalui modal ventura Grab Ventures, perusahaan digital itu membeli saham minoritas HappyFresh untuk menghadirkan layanan pemesanan kebutuhan sehari-hari bernama GrabFresh. Apalagi, HappyFresh telah bermitra dengan sepuluh merek supermarket dengan puluhan ribu produk yang bisa dipilih.

Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibarata mengatakan, salah satu keunggulan GrabFresh adalah konsumen bisa melakukan pembayaran multicara, baik COD, kredit, ataupun debit. “Hanya saja, pembelian barang melalui aplikasi GrabFresh minimal Rp 100.000,” terang dia.

Bayar cash atau?

Berdasarkan survei FT Confidential Research kepada 1.000 konsumen urban di 25 kota tanah air menyatakan, sepertiga konsumen mengaku telah menggunakan mobile payment dalam tiga bulan terkahir. Dari total responden itu, 70% menggunakan Go-Pay, disusul 60% PayPal, 36% GrabPay, serta 32% T-Cash.

Go-Pay pun tengah berusaha agar mobile payment mereka bisa digunakan untuk transaksi yang lebih kecil, yaitu menyasar UMKM. Telah banyak posting-an media sosial oleh para netizen tentang penjajaja makanan pinggir jalan yang bisa menerima pembayaran melalui Go-Pay.

Ichsan Salim, Pemilik Rendang RK yang telah menawarkan menu makanannya di Go-Food mengatakan, pihaknya lebih menyukai pembayaran menggunakan Go-Pay ketimbang cash karena mampu meminimalisir transaksi yang hilang atau tidak tercatat. “Sehingga, akuntabilitas angka penjualan harian lebih terjaga. Ini mengurangi kecurangan pegawai,” kata dia.

Setiap Go-Jek, katanya, harus memiliki akun Go-Resto untuk membayar dan menerima komisi dari Go-Jek. Artinya, transaksi antara Go-Jek dan mitra tenannya sudah dipastikan 100% cashless.

Namun, yang belum adalah antara Go-Jek dengan konsumennya yang masih banyak memilih cash untuk pembelian apa pun melalui platform Go-Jek. Artinya, fenomena cashless di Indonesia masih setengah-setengah.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related

award
SPSAwArDS