Gedung Pencakar Langit di Jakarta, Kebutuhan apa Gengsi?

marketeers article

Sebagai kota bisnis dan pemerintahan, Jakarta berangsur-angsur mulai mirip tentangganya, Singapura. Negara yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang menjuntai vertikal hingga ratusan meter. Kondisi itu menyiratkan pertanyaan, apakah gedung supertall sebenarnya ramah bagi kehidupan urban?

Sejak tahun lalu, Council on Tall Building and Urban Habitat (CTBUH) menyebut Jakarta sebagai kota yang paling banyak memiliki gedung setinggi di atas 200 meter dengan jumlah tujuh gedung.

Sementara itu, posisi kedua ditempati oleh Nanjing, Nanning, dan Shenzhen yang masing-masing menyelesaikan lima pencakar langit. Total tinggi gedung-gedung yang dibangun di Ibukota mencapai 1.588 meter.

Ya, supertall  merupakan fenomena pembangunan global, di mana pada pertengahan tahun ini, keberadaan bangunan setinggi 300 meter itu genap berjumlah 100 gedung di seluruh dunia.

Konstruksi pembangunan supertall  melesat 400% dalam lima tahun terakhir. Bayangkan, 50 supertall pertama dibangun dalam kurun waktu 80 tahun sejak tahun 1930 hingga 2010. Sedangkan, penambahan dari 50 menjadi 100 gedung hanya membutuhkan waktu lima tahun.

Menanggapi kemunculan bangunan tinggi di Ibukota, Direktur Eksekutif CTBUH Antony Wood menganggap positif keberadaan gedung jangkung tersebut. Menurutnya, gedung tinggi adalah bagian penting dalam menciptakan pola kehidupan yang berkelanjutan di masa depan.

Sebab, gedung pencakar langit yang dibangun dibuat berazaskan konsentrasi penduduk, ruang, penggunaan lahan, infrastruktur, dan sumber daya.

“Akan tetapi, hal-hal tersebut hanyalah langkah kecil dalam sebuah perjalanan besar yang perlu dilewati untuk menjadi benar-benar berkelanjutan, dan menjadi kontributor positif kepada kota yang dihuni,” kata Anthony seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Marketeers.

Bagi Anthony, ada aspek utama bagi gedung dapat disebut berkelanjutan, yaitu “Pada saat sebuah bangunan memaksimalkan potensi koneksinya dengan iklim dan budaya setempat, maka bangunan tersebut dapat benar-benar digolongkan “berkelanjutan” dalam semua aspek, termasuk aspek ekologi.”

Gengsi Ibukota

Di satu sisi, keberadaan gedung-gedung pencakar langit semakin mengukuhkan peran Jakarta sebagai kota bisnis di jantung Asia. Gedung-gedung itu turut mempercantik lanskap kota yang segera berusia 489 tahun ini.

Di sisi lain, pembangunan gedung jangkung menelan banyak biaya besar. Total biaya konstruksi sebuah supertall  bisa empat hingga lima kali lipat dari gedung pada umumnya (di bawah 200 meter).

Direktur Central Cipta Murdaya (CCM) Holding Karuna Murdaya menilai, pembangunan gedung supertall  di Jakarta hanya soal gengsi. Menurutnya, pembangunan gedung jangkung itu tidak layak secara ekonomi di tengah perekonomian nasional yang tak kondusif.

“Yang diperlukan Jakarta itu adalah keberlanjutan (sustainability), kelayakhunian (livability), dan lingkungan hidup yang lestari. Gedung lebih tinggi belum tentu lebih bagus,” ujar Karuna seperti dikutip dari Kompas.com.

Lagipula, katanya, gedung pendek jauh lebih ramah bagi manusia. Seseorang masih mampu naik turun tangga. Selain itu, pemakaian energi lebih efisien, serta beban biaya tak begitu besar.

Salah satu gedung baru setinggi 201 meter di Jakarta adalah Sequis Tower. Meskipun tidak bertujuan untuk menjadi gedung tertinggi di negara ini, Sequis Tower dirancang untuk menjadi bangunan tinggi hijau yang berkelanjutan di Jakarta.

Gedung ini didesain agar dapat memperoleh sertifikasi Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) tingkat platinum. Jika terealisasi, Sequis Tower akan menjadi gedung hijau pertama di Indonesia yang mengantongi standar internasional.

Marketing Advisor Farpoint Dougie Crichton menjelaskan bahwa proyek Sequis Tower memiliki visi sebagai sebuah landmark, serta strategi perkotaan baru untuk distrik CBD Jakarta.

“Jawabannya adalah desain bangunan yang secara langsung dipengaruhi oleh analisis cermat atas konteks, iklim, budaya, kekuatan situs, dan optimalisasi kinerja serta efisiensi bangunan,” tutur Dougie.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS