Greenpeace Indonesia: Program Biodiesel Ancam Luasan Hutan Tersisa

marketeers article
Refueling cars tank with gas oil at petrol station

Program bahan bakar nabati (biofuel) berpotensi kuat menggerus luasan hutan tersisa untuk kepentingan ekstensifikasi lahan sawit. Dalam rapat kerja dengan DPR-RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, diperlukan tambahan lahan sawit sebanyak 15 juta hektar untuk menggantikan kebutuhan minyak 1 juta barel per hari.

Arkian Suryadarma, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia di Jakarta, Jumat (27/11/2020) mengatakan, “berdasarkan beberapa kajian, program biodiesel justru memberikan beban besar kepada perekonomian melalui kucuran subsidi yang masif, serta tidak signifikan dalam mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Biodiesel justru memerlukan dana subsidi yang jauh lebih besar.”

Soal lahan, LPEM Universitas Indonesia juga telah melakukan kajian dampak program biodiesel. Salah satu hasil menunjukkan, diperlukan penambahan lahan sawit baru yang cukup masif.

Hal ini dinilai Greenpeace Indonesia sebagai sebuah sinyal penting jika program biodiesel hanya akan menimbulkan kerusakan hutan lebih luas. Padahal, Indonesia menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030, dan sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang GRK terbesar. 

Hitungan LPEM UI, total subsidi yang diperlukan untuk program B50 mencapai Rp 847 triliun. Saat ini, program biodiesel mendapatkan dana sebesar Rp 2,78 triliun dari program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai respons terhadap pandemi COVID-19. “Terlihat jelas bagaimana program ini membutuhkan sokongan besar dari negara,” jelas Arkian.

Program biodiesel juga membutuhkan tambahan lahan sawit baru yang bisa mengarah kepada deforestasi besar-besaran. Dari hasil simulasi untuk realisasi B50 saja selama kurun waktu 2021-2025, diperlukan luasan lahan produktif sebanyak 22,65 juta hektar hingga 2025. Bila mengacu pada luasan lahan produktif pada 2019 (13,36 juta hektar), maka diperlukan lahan sawit baru sebanyak 9,29 juta hektar.

Sementara, model produksinya tidak berbasis intensifikasi, terbukti dengan program peremajaan sawit yang selalu tidak mencapai target, khususnya sepanjang 2017-2019.

“Program biodiesel jelas bukan solusi untuk memperbaiki kondisi fiskal negara, dan akan makin memperburuk pelaksanaan komitmen Indonesia dalam memperbaiki iklim karena berorientasi pada deforestasi dan pembukaan lahan baru pada kawasan hutan. Sebab itu sangat keliru bila biodiesel digolongkan sebagai energi baru dan terbarukan,” tegas Arkian.

Related

award
SPSAwArDS