Greenpeace Indonesia Umumkan 700 Merek dalam Sampah Plastik

marketeers article
Greenpeace activist Maydi Hatika holds a banner reads “Is This Yours?” as she dives and collects the plastic garbages during the sea cleanup and brand audit for plastic garbege in Pramuka island of Thousand Islands, Jakarta. Greenpeace Indonesia found more than 500 brands of plastic products after the beach cleanup in three cities.

Sampah plastik saat ini sedang menjadi persoalan lingkungan di Indonesia. Sebab itu, harus ada tekanan para produsen untuk mengurangi penggunaan bahan baku plastik yang pada akhirnya menghasilkan sampah-sampah plastik. Sampah plastik tak hanya menjadi tanggung jawab pelaku pembuangan, tetapi juga produsen.

Urgensi ini diperkuat dengan temuan dari audit merek sampah plastik yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah komunitas lokal pada pertengahan September di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali).

“Ada 797 merek dari sampah plastik yang kami temukan dari tiga lokasi, di mana yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27),” kata Muharram Atha Rasyadi, Jurukampanye Urban Greenpeace Indonesia seperti dikutip dari keterangan resmi Greenpeace Indonesia.

Ada pun jumlah sampah yang dikumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan. Dari hasil audit merek, Greenpeace menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih pantai dan audit merek di Pantai Kuk Cituis (Tangerang); Danone, Dettol, Unilever di Pantai Mertasari (Bali); dan Indofood, Unilever, Wings di Pantai Pandansari (Yogyakarta).

“Kami juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Ini mengindikasikan bahwa sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut,” Atha menerangkan.

Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus. Secara global, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.

Sebab itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasannya, utamanya dengan mengubah model bisnisnya untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai.

Produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus bisa tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam UU No 18. Kebijakan pemerintah sejauh ini menurut Atha belumlah kuat. Kehadiran Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi dapat digunakan secara terus-menerus atau diisi ulang. Pasalnya, beleid tersebut mengutamakan produksi plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang, dalam arti lain, masih sekali pakai.

“Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, maka target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 hanyalah sekadar angan-angan,” tegas Atha.

Related

award
SPSAwArDS