Strategi bisnis berbasis konsep Creativity, Innovation, Entrepreneurship, dan Leadership (CI-EL) dinilai semakin penting untuk bertahan di tengah disrupsi teknologi artificial intelligence (AI). Pendekatan ini diyakini mampu menjaga relevansi dan daya saing manusia saat sistem digital terus berkembang menggantikan peran profesional konvensional.
Menurut Hermawan Kartajaya, Founder & Chair MCorp sekaligus pendiri Indonesia Marketing Association (IMA), perusahaan harus mengelola CI-EL secara seimbang dengan Productivity, Improvement, Professionalism, dan Management (PI-PM). Kolaborasi antara keduanya akan menghasilkan keunggulan yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
BACA JUGA: Berkaca dari Kecelakaan Pesawat Air India, Benarkah Kursi 11A Paling Aman?
“Yang pertama kali akan tergantikan oleh AI adalah productivity, improvement, professionalism, dan management karena semua itu sangat erat dengan sistem teknologi,” kata Hermawan dalam Rakernas IMA 2025: Agile Marketing in Times of Global Distruption di Shangri-La Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Peran-peran berbasis efisiensi dan kontrol diprediksi akan lebih cepat terdigitalisasi. Sebaliknya, kemampuan manusia dalam mencipta, berinovasi, dan memimpin dinilai masih sulit digantikan.
CI-EL diposisikan sebagai elemen yang membuat manusia tetap unggul dalam mengambil keputusan. Nilai-nilai ini mendukung kelincahan berpikir yang dibutuhkan dalam kondisi pasar yang tidak menentu.
PI-PM, di sisi lain, tetap penting karena mencerminkan aspek sistematis dalam operasional bisnis. Namun, apabila tidak dikelola bersama dengan CI-EL, maka hanya akan menciptakan organisasi yang mekanis.
“Kalau CI-EL dan PI-PM tidak dikawinkan, maka kita tidak akan bisa bersaing,” ujar Hermawan.
Integrasi keduanya menghasilkan QCDS, yaitu kualitas (quality), biaya (cost), pengiriman (delivery), dan keberlanjutan (sustainability). Ini merupakan empat indikator keberhasilan jangka panjang dalam manajemen modern.
Hermawan menyebut perusahaan besar sering kali lemah dalam sisi kewirausahaan karena terlalu dominan mengandalkan PI-PM. Padahal, dalam era AI, aspek human-centric seperti kreativitas dan kepemimpinan justru menjadi pembeda.
Perusahaan perlu memahami bahwa kecepatan adopsi teknologi tidak selalu sejalan dengan ketahanan inovasi. AI memang memudahkan efisiensi, tetapi tidak bisa mengambil alih nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi akar dari CI-EL.
“Dengan CI-EL dan Punokawan, kita bisa bersaing di tengah gempuran teknologi AI,” tutur Hermawan.
Hermawan juga menekankan bahwa konsep ini telah diwujudkan melalui Philip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya. Museum ini menjadi simbol integrasi pemikiran antara strategi bisnis modern dan nilai-nilai humanistik.
BACA JUGA: Terapkan 6 Prinsip Ini jika Ingin Raih Kebebasan Finansial
Pengelolaan keseimbangan antara CI-EL dan PI-PM menjadi krusial di tengah ketidakpastian pasar global. Perusahaan yang mampu menjaga kedua sisi ini diyakini akan lebih siap menghadapi disrupsi yang terus bergerak dinamis.
Dalam situasi bisnis yang terus berubah, menjaga kontrol tetap penting, namun kendali kreatif tetap harus berada di tangan manusia. Hal ini yang menjadi dasar utama dalam menjaga peran manusia tetap relevan di era digital.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz