Indonesian Gastronomy Community (IGC) bersama Badan Pangan Nasional menegaskan pentingnya pengurangan limbah makanan sebagai bagian dari praktik gastronomi berkelanjutan. Inisiatif ini diarahkan untuk mengubah pola konsumsi masyarakat sekaligus memperkuat sistem ketahanan pangan nasional.
Inisiatif ini muncul dari fakta bahwa Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang sampah makanan terbesar di Asia. Di sisi lain, kelaparan dan kekurangan gizi masih terjadi di berbagai daerah. Kesenjangan ini menjadi ironi sekaligus urgensi.
BACA JUGA: Semen Indonesia Sulap Limbah Kota Jadi Energi Alternatif
Nita Yulianis, Direktur Kewaspadaan Pangan Badan Pangan Nasional, menyampaikan bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah makanan terbesar kedua di Asia. Menurut laporan FAO (2023), lebih dari 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun secara global, setara dengan sepertiga produksi pangan dunia.
“Melihat kondisi ini, penting bagi pemerintah dan komunitas melakukan langkah kongkrit mengurangi sampah makanan,” ujar Nita dalam konferensi pers Komitmen Bersama Pengurangan Limbah Makanan di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
IGC menilai bahwa perubahan harus dimulai dari langkah terkecil di tingkat rumah tangga. Kampanye “kurangi sisa makanan dimulai dari piring sendiri” menjadi pesan utama yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas.
Dr. Ray Wagiu Basrowi, Sekretaris Jenderal IGC, menyatakan bahwa limbah makanan tidak hanya berdampak pada ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan global. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari sampah makanan memberi tekanan besar terhadap krisis iklim.
Ia memaparkan, saat ini lebih dari 735 juta orang di dunia masih mengalami kelaparan kronis. Di Indonesia, kelaparan dan kekurangan gizi juga masih tinggi. Ini ironis dengan banyaknya makanan yang dibuang. Limbah makanan menyumbang 8–10% emisi gas rumah kaca global.
“Itu sebabnya IGC sebagai komunitas memulai gerakan untuk mengedukasi pengurangan sisa makanan sejak dari rumah, serta mempertemukan pelaku industri gastronomi dengan praktisi pengelolaan limbah dalam jaringan kami,” jelas Ray.
Data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa setiap tahunnya, terdapat 23 hingga 48 juta ton makanan terbuang setiap tahun di Indonesia. Padahal jika dikelola dengan baik, angka ini bisa membantu mengurangi kelaparan dan stunting.
IGC mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengonsumsi pangan. Kesadaran ini diterjemahkan melalui tiga langkah awal, mulai dari mengambil makanan secukupnya, mendukung restoran yang menerapkan prinsip tanpa sisa, serta membiasakan diri dengan pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
“Makanan bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga dihargai. Mengendalikan limbah bukan soal mengurangi rasa, namun menambah makna,” tambah Ray.
BACA JUGA: Inisiatif MOP Beauty Reduksi Limbah Kecantikan lewat Waste Station
IGC juga mendorong pelaku industri kuliner, mulai dari chef, restoran, hotel, usaha kecil dan menengah (UKM), hingga food blogger, untuk menerapkan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap bahan pangan, seperti root-to-stem dan nose-to-tail. Tujuannya adalah memanfaatkan seluruh bagian bahan makanan agar tidak terbuang sia-sia.
Ria Musiawan, Ketua Umum IGC, menekankan bahwa perubahan gaya hidup perlu dimulai dari kesadaran individu. Prinsip zero food waste diharapkan menjadi bagian dari identitas konsumsi masyarakat Indonesia yang baru.
“Gerakan ini memperkuat komitmen pemerintah dalam Asta Cita, khususnya terkait ketahanan pangan, pengurangan food loss and waste, serta promosi gastronomi berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan peradaban Indonesia modern,” pungkas Ninuk Pambudy, Pembina IGC.
Editor: Dyandramitha Alessandrina