Imbas Perang Iran-Israel, Industri Otomotif dan Elektronik Terancam Rugi US$ 500 Juta

marketeers article
Ilustrasi pabrik mobil. Sumber gambar: 123rf.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut industri otomotif nasional berpotensi merugi US$ 500 juta akibat perang Iran dan Israel. Hal ini disebabkan pabrikan kendaraan yang masih bergantung pada komponen impor untuk 65% produksinya menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu.

Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian menjelaskan, krisis ini memperlihatkan kerentanan terhadap rantai pasok global, terutama bagi industri manufaktur Indonesia. Rute perdagangan maritim kritis termasuk Selat Hormuz yang menangani 30% pengiriman minyak global, dan Terusan Suez, jalur bagi 10% perdagangan dunia berisiko mengalami gangguan.

BACA JUGA: Menperin Ingatkan Industri Manufaktur Bersiap Hadapi Dampak Perang Iran-Israel

Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150-200%.

“Gangguan tersebut berdampak pada sejumlah sektor industri di Indonesia. Contohnya sektor otomotif dan elektronik,” kata Agus melalui keterangan resmi, Rabu (18/6/2025).

BACA JUGA: Insentif Pajak, Harapan Baru untuk Stabilitas Industri Otomotif Tahun 2025

Selanjutnya, industri tekstil dan alas kaki, salah satu penghasil ekspor utama, melihat margin laba menyusut 5-7% akibat kenaikan biaya logistik, mengurangi daya saing dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Bangladesh.

Sementara itu, sektor nikel dan baja Indonesia, yang penting bagi transisi energi global, menghadapi kenaikan biaya transportasi batubara sebesar 15-20% dan penundaan pengiriman tiga hingga empat minggu, mengancam kerugian ekspor sebesar US$ 1,2 miliar.

Konflik ini juga mempercepat tren perdagangan global yang mengkhawatirkan, termasuk “friend-shoring” oleh ekonomi Barat yang berupaya mengurangi ketergantungan pada kawasan rawan konflik.

Meski Indonesia berpeluang mendapat keuntungan dari cadangan nikelnya yang besar, menyumbang 40% permintaan global untuk baterai kendaraan listrik negara ini juga harus menghadapi hambatan perdagangan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang dapat menaikkan biaya kepatuhan eksportir sebesar 8-12%.

Ketahanan pangan juga menjadi perhatian. Indonesia mengimpor pupuk dan bahan baku pupuk berbasis NPK, seperti fosfat, perkiraan sekitar 64% di antaranya berasal dari Mesir yang terletak strategis di kawasan Timur Tengah.

Selain Mesir, Indonesia juga mengimpor sejumlah kecil bahan baku pupuk dari negara-negara Timur Tengah lainnya. Meskipun volume impor dari negara-negara tersebut relatif kecil, potensi dampaknya tetap signifikan apabila terjadi konflik di kawasan tersebut.

Kendati demikian, Kemenperin memandang konflik Timur Tengah ini sebagai momentum strategis untuk memperkuat hilirasi dan kemandirian industri dalam negeri. Di tengah tantangan global, justru terbuka ruang bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan produk energi dan pangan luar negeri.

“Hilirisasi bukan hanya soal nilai tambah ekonomi, tapi juga soal kedaulatan energi dan pangan Indonesia,” tutur Agus.

Menurutnya, dukungan pemerintah akan terus diberikan dalam bentuk insentif, fasilitasi investasi, hingga kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih efisien dan berdaya saing tinggi. Ketahanan pangan dan energi bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri.

“Industri manufaktur Indonesia harus jadi garda terdepan untuk mewujudkannya,” kata Agus.

Dengan strategi ini, Kemenperin berharap Indonesia mampu menjaga stabilitas sektor industri dan ekonomi secara keseluruhan, sekaligus meningkatkan ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai tekanan global.

award
SPSAwArDS