Indef Soroti Beban Utang Hambat Holdingisasi BUMN

marketeers article
Konferensi pers Bisnis Indonesia BUMN Forum 2025 di Jakarta, Kamis (22/5/2025). (Dok. Bisnis Indonesia)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti beban utang sebagai hambatan utama dalam proses holdingisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beban warisan dari skema bisnis masa lalu dinilai memperlambat integrasi dan transformasi BUMN secara menyeluruh.

Menurut Indef, holdingisasi harus menyelesaikan masalah struktural yang belum terselesaikan. Salah satu tantangan utamanya adalah utang yang menumpuk di sejumlah perusahaan pelat merah.

BACA JUGA: Bank Mandiri Jadi BUMN Perbankan Terbaik Versi Forbes

“Ini juga tidak mudah ketika mayoritas BUMN memiliki beban utang, termasuk penugasan, lambatnya restrukturisasi, hingga penundaan pembayaran,” kata Tauhid Ahmad, Ekonom Senior Indef dalam Bisnis Indonesia BUMN Forum 2025 di Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Indef menilai hambatan ini berpotensi membuat proses pembentukan holding menjadi tidak efisien. Jika tidak ditangani dengan tuntas, holding BUMN dapat kehilangan arah dan tujuan awalnya.

Tantangan eksternal juga memperumit proses konsolidasi BUMN yang sedang berlangsung. Salah satunya adalah tekanan harga komoditas yang memengaruhi kinerja BUMN berorientasi ekspor.

Indef mengingatkan bahwa likuiditas perbankan yang mengetat akan membatasi ruang gerak BUMN. Selain itu, penugasan baru seperti program Koperasi Desa Merah Putih bisa menambah beban operasional.

Sinergi antara holding dan agenda pemerintah perlu diperjelas secara strategis. Tauhid menyebut Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) harus mulai mendiskusikan ulang berbagai skema yang relevan.

“Skema-skema tersebut bisa menjadi tantangan jika holding belum memiliki arah sinergi yang jelas dengan program pemerintah,” tutur Tauhid.

Indef juga mempertanyakan efektivitas pembentukan 13 klaster BUMN yang ada saat ini. Menurutnya, batasan klaster tersebut dalam praktiknya belum mencerminkan peran dan fungsi yang optimal.

Kekhawatiran lain datang dari risiko hilangnya momentum transformasi bisnis BUMN. Tanpa perubahan model bisnis yang adaptif, BUMN dikhawatirkan tidak mampu menghadapi dinamika ekonomi.

Tauhid menegaskan bahwa BUMN perlu menjalankan model bisnis baru yang relevan. Jika tidak, dampaknya bisa merugikan perekonomian secara lebih luas.

Penataan kembali struktur dan tanggung jawab antarperusahaan perlu dilakukan secara menyeluruh. Hal ini penting untuk memastikan holdingisasi membawa dampak positif yang nyata.

Proses konsolidasi harus memperhatikan kondisi finansial masing-masing entitas di dalam holding. Beban masa lalu tidak bisa diabaikan begitu saja karena dapat menular ke entitas lain.

Menurutnya lagi, holdingisasi bukan hanya soal manajemen aset, tetapi juga perbaikan tata kelola dan efisiensi. Jika dilakukan secara terburu-buru, holding justru berisiko menciptakan ketimpangan baru.

“BUMN bisa kehilangan banyak momentum jika tidak bisa melakukan proses bisnis-bisnis baru yang kemungkinan dampaknya luar biasa ke ekonomi,” kata Tauhid.

BACA JUGA: Rosan Sebut Danantara Menaungi 844 BUMN

Holdingisasi tetap memiliki potensi sebagai strategi perbaikan BUMN secara menyeluruh. Namun, pemerintah perlu memastikan prosesnya tidak mengabaikan tantangan struktural yang mendasar.

Langkah ke depan harus mempertimbangkan keberlanjutan dan kesiapan institusional. Tanpa itu, upaya holding bisa berhenti pada tataran administratif tanpa dampak nyata di sektor riil.

Editor: Ranto Rajagukguk

award
SPSAwArDS