Indomie Melirik Pasar Mi Premium, Seberapa Menarik?

marketeers article
Indomie

Sebagai pemimpin pasar, menelurkan produk baru bukan sesuatu yang memusingkan. Tapi, jika produk tersebut masuk ke ceruk pasar yang tak pernah disentuh sebelumnya, mungkin persiapannya berbeda. Indomie mengamati ada segmen masyarakat yang mulai tertarik menikmati mi kelas premium.

Karenanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, produsen Indomie, sejak setahun lalu mulai memasarkan merek mi premiumnya, Indomie Real Meat ke pasar nusantara. Memasuki kuartal ketiga tahun ini, Indofood menambah varian baru dari mi premiumnya itu, sehingga kini totalnya menjadi empat varian.

Apa yang sebenarnya mendasari raksasa mi instan masuk ke pasar premium? Jika diamati dari model marketing 4C, Indomie nampak telah mendapat perlawanan dari competitor barunya, Mayora.

Pasalnya, PT Mayora Indah Tbk telah meluncurkan kategori mi instan baru bertajuk ‘Bakmi Mewah’ pada tahun 2015. Segambreng aktivitas promosi pun gencar dilakukan, hingga bahkan biaya promosi Bakmi Mewah ditaksir mencapai lebih dari ratusan miliar rupiah setahun.

Memang, bujet promosi Bakmi Mewah masih jauh dari sang pelopor Indomie yang menurut catatan Nielsen, belanja iklannya pada tahun 2016 menembus Rp 786,6 miliar. Di posisi kedua terdapat sang bayang-bayang Mie Sedaap besutan Wings Food dengan nilai belanja iklan Rp 551,5 miliar. Adapun rata-rata belanja iklan kategori mi instan sekira Rp 2-Rp 2,8 triliun selama setahun.

Sehingga, lumrah bagi sang market leader Indomie untuk juga tergiur bermain di pasar mi instan premium, yang harga jual eceran terendahnya berada di level Rp 6.500 hingga Rp 8.000 per bungkus. Harga ini tiga hingga empat kali lipat dari harga mi reguler pada umumnya.

Apalagi, dengan memiliki umbrella brand ‘Indomie’ yang sudah menjadi dominant brand di kategori mi instan, bukan sesuatu yang sulit untuk mendongkrak popularitas Indomie Real Meat. Berbeda dengan Bakmi Mewah yang mau tak mau mesti membuat banyak promosi demi mencapai spontaneous awareness.

Sayangnya, pihak Indomie enggan menyebut berapa bujet promosi dari Indomie Real Meat. Namun, yang pasti, distribusi mi premium ini hanya fokus pada ritel modern, seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket di seluruh Indonesia.

“Kami menargetkan anak muda usia 20 hingga 35 tahun. Kami juga akan melakukan 360 degree activities, antara lain TVC, BTL, hingga sampling di pasar swalayan dan di kampus-kampus,” tutur Lucy Suganda, General Manager Indomie, saat peluncuran Indomie Real Meat rasa Empal Goreng dan Telur Balado, di Jakarta, Kamis, (30/3/2017).

Kompetisi adalah satu alasan. Alasan lainnya didasarkan atas perubahan yang terjadi pada customer. Lucy mengatakan, kategori mi premium mengalami peningkatkan volume penjualan selama tiga tahun terakhir. Artinya, ada segmen konsumen yang mulai beralih mengonsumsi mi premium.

Meski tak merinci pertumbuhan pasar mi premium di tanah air, namun Lucy menuturkan, gejala “demam” mi premium dapat dilihat dari mulai banyaknya merek mi impor dari China, Korea Selatan, maupun Jepang. Seperti mi instan Shin Ramyun yang harganya bisa mencapai Rp 15.000 per bungkus.

Hal itu mengindikasikan bahwa ada segmen konsumen di masyarakat yang mau membayar lebih mahal untuk menikmati semangkuk mi instan. Tren ini terjadi akibat pasar mi sedari dulu kurang inovatif lantaran selama bertahun-tahun dikuasai oleh pemain yang “itu-itu saja”. Maka itu, ketika mi premium impor menginvasi pasar, animo konsumen luar biasa.

“Melihat tren ini, sebagai pemimpin pasar, kami ingin menjaga posisi kami. Terobosan ini juga memacu kami untuk selalu menjadi pelopor di kategori mi instan,” ujar Lucy sembari mengatakan harga eceran terrendah Indomie Real Meat mulai Rp 6.000 hingga Rp 7.500.

Lucy kembali menjelaskan, sisi premium mi ini dibanding varian Indomie reguler terletak pada komposisi ‘real meat‘ (daging asli) yang ada di dalam produk, serta teknologi retort yang digunakan dalam memproduksi mi tersebut.

Konsep real meat pada dasarnya menggunakan daging sapi tanpa pengawet di dalam kemasan. Tidak hanya daging, Lucy bilang, semua bahan-bahan sajian mi seperti telur puyuh, kentang, dan bahan lainnya adalah alami. Semua itu bisa terjadi berkat pemanfaatan teknologi retort dalam produksinya.

Teknologi retort

Teknologi retort sebenarnya lazim di gunakan di industri pengolahan pangan. Retort adalah metode pengalengan/pengawetan produk pangan yang biasanya berupa produk makanan kaleng, seperti sardin. Teknologi itu digunakan pula pada produksi mi instan.

Puwiyatno Hariyadi, peneliti teknologi pangan dari IPB menjelaskan, teknologi retort dalam industri produk konsumer cepat saji adalah proses pengendapan produk yang dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu tinggi.

Pengawetan menggunakan teknologi retort dipercaya dapat membunuh bakteri mikroba, baik bakteri pembusuk maupun bakteri penyebab penyakit. “Sehingga menghasilkan produk pangan yang aman, awet, dan dapat disimpan dalam suhu kamar meski tanpa tambahan pengawet,” katanya.

Memang, segala produk pangan yang mengalami pemanasan, membuat kandungan vitamin dan mineralnya menjadi berkurang. Apalagi, proses retort menggunakan suhu pemanasan di atas 120 derajat Celcius. “Maka itu, produsen perlu mengoptimalisasi penggunaan retort, dari segi waktu pemanasannya,” ujar dosen IPB ini.

Lantas, bagaimana proses retort dapat menghasilkan mi yang tidak hanya aman, namun juga masih memiliki kandungan vitamin di dalamnya? Karena itu, timpal Lucy, Indomie Real Meat menggunakan retort pouch atau kemasan yang tahan terhadap proses pemanasan tinggi.

“Di saset atau bungkus bumbu-bumbu kami, termasuk (bugkus) daging, dikemas dalam kemasan retort-able,” akunya.

Ia bilang, teknologi ini membuat safe life suatu produk menjadi lebih lama, asalkan kemasan masih dalam keadaan baik. Kendati demikian, pihaknya melabeli masa simpan layak konsumsi produk ini sekitar delapan bulan.

Bersarnya Pasar Mi

Di luar dari teknologi retort yang digunakan, mi instan merupakan pasar produk konsumer yang cukup besar di negeri berpenduduk 256 juta jiwa ini. Di kategori produk konsumer, makanan berbahan gandum tersebut memberikan kontribusi penerimaan negara terbesar ketiga setelah rokok dan air minum dalam kemasan (AMDK).

Pasar yang besar selaras dengan tingkat konsumsi mi di Indonesia. Data World Instant Noodles Association (WINA) memberi konfirmasi bahwa konsumsi mi instan masyarakat Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, konsumsi mi instan mencapai 14,9 miliar bungkus, atau mengalami peningkatan sebesar 1 miliar bungkus bila dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2009.

Tahun 2014, konsumsi mi instan mencapai 13,4 miliar bungkus, meskipun pada tahun berikutnya angkanya menurun menjadi 13,2 miliar. Angka itu sama artinya bahwa rata-rata orang Indonesia mengonsumsi 51-52 bungkus mi setahun atau setara 1,2 dus.

Sumber Gambar: instantnoodles.org

Tingginya angka konsumsi mi instan itu menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara pengonsumsi mi kemasan terbesar di dunia setelah China, yang konsumsinya mencapai 40 miliar bungkus.

Penetrasi mi instan yang sangat masif bisa terjadi karena makanan ini telah dicicipi bangsa ini sejak tahun 1960. Kemasannya yang ringan, membuat mi cukup mudah didistribusikan, khususnya ketika bencana alam terjadi.

Di sisi lain, pabrik mi mampu menghasilkan volume produksi yang cepat dalam memenuhi permintaan yang tak terduga. Indofood pun pada tahun 1982 memproduksi secara masif mi instan hingga tersebar ke pelosok area. Sejak saat itulah brand Indomie lahir.

Jika melihat dari market size mi instan di Indonesia, pangsanya bagai air meresap di dalam kapas, alias melebar dari tahun ke tahun. Nielsen pernah mencatat bahwa market size mi instan pada tahun 2013 mencapai Rp 25,3 triliun, tahun 2014 Rp 29,4 triliun, dan tahun 2015 Rp Rp 32,9 triliun.

Jika pertumbuhannya stabil sebesar 10% per tahun, maka tahun 2017 market size-mi kemasan bisa tumbuh Rp 36 triliun.

Akan tetapi, Indomie menilai pasar mi instan cukup landai, apabila dibandingkan dengan pasar mi premium. “Pasar mi instan tahun lalu cukup stagnan,” ujar Lucy tanpa menjelaskan penyebab stagnansi tersebut.

Sementara itu, Indra Prayitno, Brand Manager Noodle Division PT ABC Presiden Indonesia mengatakan, sepanjang tahun 2016, kategori mi instan secara keseluruhan mengalami degrowth atau pertumbuhannya minus 2%.

Ia menyebut, penyebab penurunan itu bisa bervariasi. Bisa jadi karena kondisi ekonomi yang melemah, banyaknya jenis makanan instan lain di luar mi, atau mungkin maraknya delivery service di kota besar.

“Kehadiran ojek online membuat orang lebih mudah order makanan jika tiba-tiba lapar atau ingin ngemil,” kata Indra saat dihubungi melalui pesan instan WhatsApp.

Di negara di mana 40% dari penduduknya hidup kurang dari US$ 2 atau Rp 26.000 sehari, mi menjelma bagai makanan pokok utama setelah nasi. Dengan puluhan pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia, produsen mi termasuk Indomie berharap konsumsi mi bisa tumbuh 10% tahun ini, atau menembus 15 miliar bungkus.

Tak heran, divisi mi instan di Indofood selalu menjadi kontributor terbesar dengan persentase kontribusi sekitar 64% terhadap penjualan neto konsolidasi, diikuti oleh produk susu dan olahannya (20%), makanan ringan (7%), penyedap makanan (2%), nutrisi & makanan khusus (2%), serta minuman (5%).

Dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2016, penjualan neto konsolidasi meningkat 8,6% menjadi Rp 34,47 triliun dari Rp 31,74 triliun pada tahun sebelumnya. Laba bersih pun meningkat 20% dari Rp 3 triliun menjadi Rp 3,6 triliun.

Berdasar dari data itu, bisa disebut bahwa Indomie mampu berkontribusi Rp 22 triliun terhadap Indofood CBP Tbk.

Pertanyaan selanjutnya, berapa kontribusi yang ditargetkan dari kehadiran mi premium ini? “Untuk pertanyaan itu, saya belum bisa menjawabnya. Sebab, pasarnya masih baru bertumbuh, tentu masih sangat kecil,” jawab Lucy.

Related

award
SPSAwArDS