Ini Kaleidoskop Industri Ritel Tahun 2015

marketeers article
Perekonomian Indonesia sudah menurun pada kuartal empat tahun lalu. Target pertumbuhan ekonomi yng sebesar 5,6%-5,8%, mesti direvisi menjadi 4,7%. Kontribusi pertumbuhan ekonomi didorong oleh konsumsi masyarakat yang mencapai 54,6% dari PDB. Kalau konsumsi turun, ekonomi sudah pasti ikut turun.
 
Situasi tak manis yang terjadi hampir sepanjang tahun ini, membuat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) merevisi target pertumbuhan. Jika biasanya, ritel bisa tumbuh 14% year on year, kini hanya puas di level 8% hingga 10%. 
 
“Pertumbuhan ritel biasanya 3,5 hingga empat kali kali dari pertumbuhan ekonomi. Tahun ini berharap, 8%-10% bisa tercapai,” papar Ketua APRINDO Roy Mandey saat ditemui di Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta, Kamis, (12/11/2015).
 
Roy mengatakan, pada semester satu tahun ini, penurunan yang terjadi di ritel lebih disebabkan oleh konsumen yang menahan konsumsi. Hal ini terjadi karena kondisi makro ekonomi Indonesia yang bergejolak, yang ujungnya mempengaruhi daya beli konsumen.
 
Secara global, pengaruh terbesar datang saat Tiongkok mendevaluasi mata uang Yuan sebesar 2% untuk menstimulus pasar ekspornya. Selain itu, Federal Fund Rate (FFR) digadang-gadang bakal dinaikkan pada akhir Desember tahun ini, sehingga bakal mendongkrak nilai mata uang dolar AS.
 
“Secara makro, Indonesia mendapat tekanan dari berbagai lini, sehingga Rupiah morat-marit di semester pertama. Pada semester dua, mulai terjadi perbaikan. Paket kebijakan ekonomi pemerintah secara psikologis memberikan sentimen positif bagi konsumen,” terang Roy.
 
Meski terjadi beban yang luar biasa tahun ini, Roy melihat, festive season seperti Lebaran menjadi berkah yang luar biasa bagi peritel. Penjualan selama momen Idul Fitri dan Lebaran tahun ini lebih tinggi 15%-20% dari pada periode tahun sebelumnya.
 
“Artinya, bukan masyarakat tidak mampu membeli, tapi menahan konsumsi. Setelah THR, atau dua minggu setelah 4 Juli 2015, pendapatan ritel luar biasa. Padahal, saat itu, dolar tengah menguat Rp 14.700,” paparnya.
 
Yang paling menggembirakan, sambung Roy, adalah industri makanan minuman (mamin). Dulu, industri ini paling mudah turunnya. Namun, pada semester satu 2015 saja, pertumbuhan industri mamin 8,46%. Pertumbuhan ini melebihi pertumbuhan non-migas yang hanya 5,27% pada periode yang sama.
 
“Meskipun demikian, ada perubahan cara berbelanja konsumen. Dulu, orang berbelanja dengan menyetok stok. Saat terjadi penurunan, stok dihindari. Konsumen melakukan pembelian seperlunya. Sehingga, pertumbuhan ritel jadi turun,” paparnya.
 
Editor: Sigit Kurniawan 

Related

award
SPSAwArDS