Setelah menuntaskan rangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Indonesia Marketing Association (IMA) 2025 di Jakarta, Sabtu (14/6/2025), para peserta diundang oleh Hermawan Kartajaya, Pendiri IMA, mengunjungi Philip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya.
Di sana, sosok yang dikenal sebagai Bapak Pemasaran Indonesia ini membagikan wawasan mendalam terkait pemasaran. Hermawan mengawali dengan penegasan bagaimana dinamika marketing tidak lagi sesederhana merek menjual produk, tetapi bagaimana merek tersebut mampu bertahan di tengah arus perubahan yang terus bergerak.
Menurutnya, membuat sebuah merek adalah hal yang tidak terlalu sulit. Satu hingga dua bulan pertama sering kali berjalan mulus. Namun, ujian sesungguhnya muncul ketika kompetitor masuk ke pasar.
“Di titik inilah kekuatan sesungguhnya dari merek mulai diuji. Merek yang tidak lagi relevan, tidak memiliki pembeda, atau terlambat merespons perubahan bisa dengan mudah kehilangan pelanggan. Sebaliknya, jika terlalu cepat berubah tanpa kesiapan pasar, hasilnya bisa sama buruknya,” kata Hermawan.
BACA JUGA: IMA Lanjutkan Komitmen Dorong UMKM Go Global lewat Marketing Unggul
Menurutnya, ketika perusahaan kehilangan keunggulan kompetitifnya, pelanggan pun ikut menjauh. Terlebih lagi jika perusahaan gagal mengantisipasi perubahan besar yang digambarkan dalam kerangka 5 Drivers of Change, yakni technology, market, political-legal, social-culture dan economy.
Kelima faktor ini bisa membuat merek kehilangan daya saing, jika tak direspons dengan tepat waktu. Hermawan menekankan bahwa teknologi adalah kekuatan yang membelah, bukan hanya mempercepat.
Begitu pula dengan perubahan sosial budaya yang menuntut perusahaan untuk terus mengukur apakah mereka terlalu cepat atau justru terlalu lambat beradaptasi. Di sinilah muncul istilah yang ia tekankan, market-ing.
“Karena pasar itu dinamis, maka cara kita melakukan pemasaran harus luwes, terus menyesuaikan arah. Tidak cukup hanya memiliki strategi jangka panjang, tetapi juga perlu kepekaan terhadap arah perubahan yang sedang terjadi,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Hermawan menyarankan agar pelaku bisnis tidak terjebak pada gimmick atau sekadar taktik. Fondasi dari marketing yang kuat tetap kembali pada Positioning, Differentiation, dan Branding (PDB).
BACA JUGA: Hermawan Kartajaya: CI-EL Membuat Manusia Tak Bisa Digantikan AI
Namun, PDB bukanlah jaminan abadi. Ketika ada pesaing baru dengan pendekatan yang lebih segar atau lebih relevan, diferensiasi bisa hilang.
Jika pembeda menghilang, maka positioning ikut kabur, dan pada akhirnya branding kehilangan makna. Strategi marketing, berdasarkan pemaparan Hermawan, dimulai dari customer management yang tepat.
Tidak semua segmen bisa ditargetkan sekaligus. Harus ada segmentasi, lalu dipilih target yang paling sesuai agar tenaga dan sumber daya bisa digunakan secara efisien.
“Di sinilah pentingnya memahami konsep Segmentation, Targeting, dan Positioning (STP). Tanpa fondasi ini, marketing hanya akan jadi aksi sporadis yang tidak terarah,” ucap Hermawan.
Hermawan pun mencontohkan bagaimana diferensiasi bisa dibangun dari hal sederhana namun bermakna. Starbucks, misalnya, tidak hanya menjual kopi.
Mereka membangun konsep “third place” atau tempat ketiga setelah rumah dan kantor sebagai ruang yang nyaman untuk bersantai, bertemu, atau sekadar menikmati waktu sendiri. Inilah sebabnya Starbucks memperhatikan setiap detail, mulai dari pemilihan lokasi, suasana toko, musik, hingga sapaan ramah barista.
Karena bagi mereka, kopi saja tidak cukup. Yang membuat pelanggan kembali adalah pengalaman yang menyenangkan dan rasa keterhubungan.
Konsep ini sejalan dengan prinsip customer management yang ditekankan Hermawan. Merek yang kuat bukan hanya tahu siapa target pasarnya, tetapi juga bisa menciptakan pengalaman yang berbeda dan sulit ditiru.
Starbucks berhasil membedakan diri bukan dari rasa kopi, tapi dari atmosfer sosial yang mereka ciptakan. Dari kunjungan ini, satu pelajaran penting yang dibawa pulang peserta Rakernas IMA adalah bahwa marketing hari ini bukan lagi soal menjual, tetapi tentang bertahan.
Pada era yang penuh perubahan, mungkin mudah memulai bisnis, tetapi mempertahankan keberlanjutannya memerlukan pemahaman mendalam terhadap pelanggan, kemampuan membaca arah perubahan, dan keberanian untuk terus menyesuaikan diri.
Editor: Ranto Rajagukguk