Pertumbuhan ekonomi nasional pada paruh kedua 2025 diperkirakan tidak merata di seluruh sektor. Industri utama seperti manufaktur dan perdagangan masih mendominasi, sementara sektor lain hanya mencatatkan peningkatan terbatas. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa pemulihan belum berjalan menyeluruh.
Dalam kondisi pasar yang semakin kompetitif, produk yang tidak memiliki differentiation akan mudah tersingkir. Persaingan harga yang kian agresif membuat margin menyusut dan melemahkan posisi merek, termasuk yang sebelumnya kuat di segmen premium.
“Produk kalau tidak punya diferensiasi, pasti konsumen akan cari yang lebih murah,” ujar Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. dan Marketeers, dalam kegiatan kunjungan C-Level perusahaan ke Philip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya, Kamis (26/6/2025).
BACA JUGA: Dorong Wirausaha Lokal, IFBC 2025 Balikpapan Hadirkan 67 Brand dan Peluang Kemitraan
Di sisi konsumen, ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang. Indeks kepercayaan konsumen menurun, sejalan dengan pertumbuhan konsumsi yang hanya mencapai sekitar 5%.
Hal ini menggambarkan efisiensi belanja yang ekstrem, bahkan bisa dikaitkan dengan lemahnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Meski layanan dan pengalaman sebagai nilai tambah mulai meningkat, kontribusinya masih belum mampu menyaingi sektor barang. Dalam situasi ini, perusahaan perlu meninjau kembali cara mengukur kekuatan merek. Terlalu fokus pada satu metrik dapat mengarah pada strategi yang keliru dan berdampak luas.
Salah satu kesalahan umum adalah hanya mengukur brand awareness tanpa memperhatikan tingkat customer advocacy. Akibatnya, anggaran promosi sering kali dihabiskan tanpa hasil nyata terhadap loyalitas maupun konversi.
“Kami pernah melihat kasus di mana tim marketing terus meningkatkan awareness secara inorganik. Padahal, yang dibutuhkan adalah advokasi,” kata Iwan.
Risiko lain muncul saat perusahaan tidak memantau gerak pesaing. Merasa aman karena menduduki peringkat teratas dalam survei bisa menimbulkan persepsi keliru.
Inovasi menjadi tertunda, sementara pesaing datang dengan pendekatan branding yang lebih segar dan relevan. Banyak perusahaan baru menyadari penurunan penjualan setelah kompetitor tidak langsung merebut perhatian pasar.
Selain itu, brand health tracking yang tidak disertai dengan strategi tindak lanjut hanya akan menjadi formalitas. Ada perusahaan yang rutin memantau kesehatan merek, tetapi tidak pernah menindaklanjuti temuannya. Akibatnya, merek dianggap tidak relevan dan gagal tumbuh secara finansial.
“Sering kali yang salah adalah perbedaan antara apa yang dilihat pasar dan yang dipersepsikan oleh manajemen,” lanjut Iwan.
Dalam tekanan margin dan konsumsi yang stagnan, brand health tracking seharusnya menjadi pijakan untuk pengambilan keputusan strategis, bukan sekadar laporan berkala. Jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, brand health tracking dapat menjadi pemicu pertumbuhan dan menjaga daya saing merek.
Kunjungan Museum
Pemahaman terhadap pemasaran modern kini dikembangkan melalui pendekatan edukatif berbasis pengalaman. Salah satu inisiatif yang mencerminkan hal ini adalah kehadiran Philip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya.
Museum ini menghadirkan perjalanan dunia pemasaran, mulai dari konsep klasik hingga transformasi digital, dalam format yang interaktif. Pengalaman pengunjung dirancang melalui gabungan teknologi visual dan studi kasus dari perusahaan-perusahaan nasional.
“Kalau ingin tahu bagaimana praktik pemasaran berkembang, museum ini bisa jadi acuan. Karena ini bukan sekadar ruang pamer, namun juga sarana memahami perubahan perilaku pasar lewat pendekatan teknologi,” jelas Iwan.
Museum terbagi dalam enam bagian, dimulai dengan ruang penghormatan untuk Kerajaan Ubud. Selanjutnya, pengunjung diajak menyusuri tiga zona utama: Key Elements of Marketing, Tech Marketing, dan Entrepreneurial Marketing.
Di zona pertama, pengunjung dapat mempelajari kerangka dasar pemasaran seperti 5 Drivers of Change, 4C Diamond Analysis, dan 9 Core Elements of Marketing. Seluruh materi disajikan secara visual untuk mempermudah pemahaman konsep.
BACA JUGA: Gaet Perempuan Urban, Vespa Bangun Brand Experience di Cosmopolitan Flower Day
Bagian Tech Marketing menjadi area yang paling menonjol. Zona ini menggambarkan pergeseran pendekatan dari era produk ke era pengalaman, atau Marketing 6.0.
Teknologi Augmented Reality (AR) dan video mapping digunakan untuk menciptakan simulasi yang mendalam. Teknologi ini dikembangkan oleh perusahaan lokal, Assemblr, sebagai hasil kolaborasi antara industri digital dan dunia akademik.
hilip Kotler Museum of Marketing with Hermawan Kartajaya juga menampilkan studi kasus dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Bank Mandiri, yang menggambarkan bagaimana transformasi digital diimplementasikan dalam strategi pemasaran.
Sementara itu, zona Entrepreneurial Marketing memperkenalkan konsep omnihouse sebagai pendekatan holistik yang menggabungkan kreativitas, inovasi, kepemimpinan, dan manajemen. Model ini dirancang untuk menjawab tantangan bisnis masa kini.
“Pengalaman langsung seperti ini mendorong pemahaman yang lebih mendalam. Teknologi hanya alat, tetapi bagaimana kita membingkai cerita pemasaran itu yang menentukan dampaknya,” pungkas Iwan.
Dengan menggabungkan elemen teknologi dan narasi strategis, museum ini memperluas cara pandang terhadap pemasaran. Bukan hanya sebagai alat promosi, tetapi sebagai sarana transformasi sosial dan ekonomi. Pendekatan interaktif yang digunakan diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik di era digital.
Editor: Dyandramitha Alessandrina