Investasi Asing Dorong Pertumbuhan Industri Film Lokal

marketeers article

Indonesia diprediksi akan menjadi produsen film layar lebar terbesar di Asia. Setelah bertahun-tahun mengalami kendala pada pertumbuhan produksi film dan sensor, bioskop baru mulai dibuka di berbagai daerah di Indonesia. Pertumbuhan ini didukung oleh investasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai perusahaan pada ekosistem film di Indonesia.

Dilansir dari Bloomberg, industri film Indonesia terus berkembang ditandai oleh studio film internasional yang mulai bekerja sama dengan rumah produksi  lokal. Selain itu, berbagai rumah produksi besar juga mulai membuka investasi kepada publik. Hal ini menyebabkan kini pendanaan pembuatan film semakin terbuka lebar dan peluang kerja sama dengan studio internasional dengan pengalaman setara dengan Hollywood yang semakin besar.

Indonesia telah memproduksi film sejak tahun 1920. Namun, perkembangan industri film saat itu terhambat akibat Perang Dunia II yang melanda Indonesia. Pemerintah Jepang yang berkuasa di Indonesia membatasi produksi film. Hanya film-film pemerintah yang boleh tayang di area publik. Peraturan ini terus berlangsung hingga pada tahun 1980 di mana rumah produksi film mulai bermunculan. Hingga film Tjoet Nja’ Dhien pata tahun 1988 berhasil menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Cannes Film Festival, Perancis. Setelahnya, Film industri film tanah air kembali merosot pada tahun 1990 sampai 2000-an.

Indonesia mengalami reformasi industri film saat pemerintah membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2015. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengangkat peraturan pembatasan investasi asing terhadap produksi film lokal. Dari sinilah kemudian berbagai kolaborasi produksi film layar lebar mulai dilakukan secara internasional. Sebut saja Wiro Sableng 212 (2018) yang merupakan hasil kerjasama dengan Twentieth Century Fox. Film ini berhasil meraih Box Office dengan angka pendapatan US$ 3 juta.

Perkembangan film indonesia semakin progresif dengan dirilisnya Foxtrot Six (2019) yang diproduseri oleh Mario Kassar, produser Terminator (1984). Film ini diproduksi dengan biaya mencapai US$ 5 juta, menjadikannya sebagai film Indonesia dengan biaya produksi termahal. Namun, hal ini menjadi prestasi dilihat dari respons positif yang datang dari penontonnya.

Sejak dihapusnya peraturan pembatasan investasi asing terhadap produksi film di Indonesia, industri film semakin menunjukkan taringnya. Dilansir dari Bloomberg, pasar produksi film di Indonesia meningkat hingga 20% pada tahun 2015. Tahun 2019, angka ini semakin meningkat menjadi 35%. Popularitas film lokal meningkat seiring semakin berkualitasnya film yang diproduksi. Ideosource, salah satu perusahaan venture-capital lokal baru-baru ini mengumumkan tengah berinvestasi pada US$ 3,6 juta untuk sepuluh proyek film pada tahun 2019. Angka ini direncanakan bertambah US$ 15 juta di masa depan.

Perkembangan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan semakin tingginya minat menonton film dan produksi film oleh masyarakat Indonesia. Film merupakan produk budaya yang menjadi entitas ekonomi suatu negara. Dengan pertumbuhan Industri film yang semakin menjanjikan, tidak heran jika suatu hari Indonesia bisa mengalahkan Bollywood milik India.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS