Diversifikasi Produk, Jawaban Industri Ritel Yang Menurun

marketeers article
51805867 woman buying a salad at a grocery store

Tahun 2017, industri ritel Indonesia dihebohkan dengan tutupnya sejumlah gerai dari nama-nama beken. Nama seperti Matahari Department Store, Ramayana, Golden Truly, Lotus, hingga Debenhams disebut-sebut mulai goyah fondasinya di pasar Indonesia. Hal itu menambah deretan tutupnya operasional 7-Eleven di Jakarta. Penutupan gerai-gerai ritel ini menimbulkan spekulasi mulai dari turunnya daya beli masyarakat hingga meredupnya industri ritel offline, dan menandakan munculnya era ritel online di Indonesia. Namun, benarkah bahwa daya beli masyarakat Indonesia turun?

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy N. Mandey mengakui adanya perlambatan dalam sektor ritel di Indonesia. “Dua setengah tahun terakhir memang underperform. Tahun 2012-2013 lalu, pertumbuhan industri ritel nasional bisa mencapai 14% sampai 15%. Sekarang beda, tahun lalu saja tumbuh hanya 9% dan kami berharap tahun ini bisa menembus angka yang sama, walau proyeksi berada di kisaran 7,5% sampai 8% saja,” ujarnya.

Roy menilai untuk bisa sama dengan pertumbuhan tahun lalu diperlukan kerja ekstra. Pasalnya, di semester pertama 2017 saja, pertumbuhan hanya mencapai kisaran 3,8%.

Salah satu penyebab kurang bergairahnya industri ritel adalah adanya perubahan kebiasaan konsumsi masyarakat. Senada dengan yang pernah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa masyarakat Indonesia sekarang terutama kelas menengah dan menengah atas lebih menggemari traveling dibanding berbelanja. Akibatnya, sekalinya berbelanja, ukuran basket size mereka di gerai ritel modern lebih kecil dari biasanya. Yang penting, mereka membeli kebutuhan secukupnya.

Berbelanja saat ini sudah sangat dipermudah dengan semakin banyaknya gerai-gerai ritel yang bertebaran dan dekat dengan lokai-lokasi di mana konsumen berada, entah daerah perumahan hingga perkantoran. Variasi jenis ritelnya pun pada akhirnya ikut berkembang.

Faktor kedua berhubungan dengan pernyataan Sri Mulyani, yang mana segmen menengah atas kini mulai menahan transaksi untuk berbelanja. Mereka dianggap lebih cerdas dan hati-hati dalam mengelola uang, serta memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya. Kalau pun memang harus keluar uang, kebutuhan untuk leisure dan traveling menjadi prioritas yang utama.

“Sekarang pusat perbelanjaan tetap ramai. Bukan karena belanja, tapi karena hanya jalan-jalan saja (window shopping). Tapi, mereka tetap mengeluarkan uang mereka untuk makan dan minum,” sambung Roy.

Di satu sisi, perilaku window shopping menjadi pemicu turunnya industri ritel. Namun, dengan tetap adanya kebutuhan makan dan minum, kedua sektor tersebut ternyata menjadi penyelamat dunia ritel secara keseluruhan.

Porsi sektor makan dan minum atau di kategori food, memberi kontribusi sekitar 58% kepada industri ritel dibanding sektor nonfood seperti pakaian dan elektronik. Agar industri ritel bisa tetap bertahan bahkan tumbuh lebih lagi, para pemain harus memikirkan untuk mendiversifikasi produk tidak hanya menjual produk nonfood tetapi juga food.

Related

award
SPSAwArDS