KADIN: Agar Ekonomi Tumbuh, Pemerintah Harus Lebih Patriotik

marketeers article
Ilustrasi pekerja industri tekstil dan produk tekstil. Sumber gambar: 123rf.

Baru sehari digelar, Forum IMF-Bank Dunia yang diadakan di Bali memberikan catatan menarik bagi Indonesia. Dana Moneter Internasional mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang hanya mencapai 5,1%. Padahal, berdasarkan APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok 5,4%.

Menguatnya ekonomi Amerika dan melemahnya ekonomi global menjadi faktor yang membuat IMF melakukan koreksinya itu. Salah satu pemicunya adalah adanya perang dagang antara AS dan China yang membuat panasnya politik dan berimbas pada ketidakstabilan ekonomi.

Vincent Gowan Vice Chairman Kamar Dagang Indonesia (Kadin) memberikan komentarnya terkait revisi IMF itu. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bisa bergerak di kisaran 5% karena lemahnya fundamental industri tanah air.

Ia menegaskan, sumbangan industri terhadap PDB tanah air menurun selama satu dasawarsa terakhir dari 30% menjadi hanya 20% saat ini. Penurunan ini disebabkan oleh kian seringnya pabrik-pabrik yang tutup, semisal pabrik tekstil. Tutupnya pabrik membuat ekonomi sektor rill menurun, yang membuat berkurangnya lapangan pekerjaan.

Lapangan pekerjaan yang kurang membuat menurunnya pendapatan masyarakat yang berimbas terhadap kemampuan membeli barang dan jasa. Yang terjadi, pemerintah dan industri lebih senang impor, baik produk jadi maupun produk setengah jadi.

“Produk impor itu diolah lagi oleh pabrik-pabrik Indonesia untuk menjadi barang jadi. Artinya, yang kita bayar hanyalah ongkos kerja para buruh saja, bukan proses produksinya,” tegas dia.

Selama ini, isu tersebut telah menjadi masalah klasik bangsa ini, yaitu ketidakmampuan untuk mengolah raw material menjadi barang yang memiliki added value atau bernilai tinggi. Misalnya, untuk produk kayu, Indonesia memang megekspor kayu ke luar negeri. “Namun, yang diekspor itu kayu batang, bukan meja atau kursi,” tegasnya.

Hal yang sama juga terjadi pada industri timah di mana industri hanya bisa mengekspor baja-baja besar, bukan perhiasan. Begitupun dengan beberapa produk penunjang industri makanan-minuman, dari mulai susu, tepung, gula, masih harus diekspor dari luar negeri.

“Saya pernah bawa pengusaha Tiongkok yang ingin memproduksi yogurt. Banyak sekali komponen impornya. Ini menyulitkan investasi dan industri itu sendiri,” terang dia.

Ia melihat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan lebih baik dari tahun ini jika pemerintah memberikan perhatian bagi kalangan industri untuk menciptakan produk-produk bernilai tinggi, dan meningkatkan kapasitas sektor hulu menjadi sektor hilir. 

“Jika yang dibangun infrastruktur, itu tidak langsung menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu tidak langsung menggerakkan sektor rill,” lanjut Vincent.

Menurut dia, insentif untuk industri perlu didorong lagi karena itu adalah usaha produktif. “Jadi, pemerintah harus lebih patriotik untuk kurangi impor dan dorong industri dalam negeri,” tutupnya.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related

award
SPSAwArDS