Kekuatan AR, dari Jualan Merek Hingga Memenangkan Calon Presiden

marketeers article

Keberadaan game Pokemon Go sedikit-banyak membantu mensosialisasikan teknologi augmented reality (AR), yang digadang-gadang bakal menjadi masa depan pemasaran berbasis teknologi di dunia. AR pada dasarnya merupakan teknologi yang memungkinkan karakter visual masuk ke dalam dunia nyata.

Beruntung, Indonesia memiliki anak-anak muda yang sejak tahun 2009 sudah fokus menggarap teknologi AR. Ya, lewat perusahaan bernama AR&Co, nama Indonesia mulai mendapat sorotan di panggung dunia.

Pasalnya, belum lama ini, AR&Co yang digawangi anak negeri itu memboyong penghargaan bergensi di dunia AR yakni Auggie untuk kategori Kampanye Terbaik di Augmented World Expo yang dihelat saban tahunnya di Silicon Valley, Amerika Serikat.

Marketeers berkesempatan mewawancarai Peter Shearer, Managing Director AR&Co, perusahaan asal Jakarta yang kini memiliki kantor di Singapura, Barcelona, Malta, New York, dan Silicon Valley. AR&Co pun telah membantu aktivitas pemasaran berbagai perusahaan dan merek lewat teknologi AR, antara lain Cartoon Network, Garuda Indonesia, Teh Celup Sosro, Disney, dan Caltex. Berikut petikannya:

Sebenarnya, apa bedanya AR dan VR?

Secara sederhana, Augmented Reality (AR), kita membawa dunia virtual ke dunia realita. Sedangkan VR, kita seakan di dunia virtual. Jadi, sebenarnya secara terminologi, AR dan VR disebut mix reality, alias penggabungan antara dunia virtual dan realita.

Pokemon Go adalah contoh dari AR. Gem ini membawa karakter Pokemon ke dunia realita. Sedangkan, Samsung VR, kita seolah-olah berada di dunia virtual.

Mana yang lebih berkembang, AR atau VR?

Masing-masing punya marketnya. Bagi saya, karena AR berhubungan dengan dunia nyata, secara penggunaan akan jauh lebih banyak. Sebab, hal itu bisa diselaraskan dengan kebutuhan industri.

Sedangkan VR membutuhkan gadget. Artinya ada tambahan piranti. Sedangkan AR tidak membutuhkan tambahan apa-apa. Hanya membuka aplikasi yang ada saat ini. Sehingga, dari segi kemudahan, AR lebih mudah.

Bagaimana peta persaingan AR/VR di industri global?

Cukup massif perkembangannya. Samsung mengeluarkan Samsung VR. Begitu juga dengan Facebook yang bermain di VR karena memiliki Oculus. Google mengeluarkan Google Glass yang merupakan piranti VR.

Google pun juga mengakuisisi perusahaan AR, Magic Leap dengan nilai yang sangat fantastis. Beberapa bulan lalu, Mark Zuckerberg mengatakan akan bermain ke ranah AR. Intinya, baik Google, Facebook, maupun Alibaba, yakin masa depan teknologi adalah mengenai mix reality.

Apakah AR&Co hanya fokus di AR?

Kebetulan kami bisa melakukan dua-duanya, AR dan VR. Akan tetapi, kami fokus di AR. Sejak berdiri pada tahun 2009, kami lahir karena kami punya latar belakang di bidang branding. Saat itu, salah satu klien kami ingin membuat kemasan produknya menjadi lebih menarik.

Kami pun menemukan teknologi AR dan kami rasa cukup seru apabila kemasan suatu produk tampil lebih hidup. Klien pertama kami adalah Teh Celup Sosro. Latar belakangnya, imej teh celup lekat dengan minuman orang tua. Melalui AR, Sosro mencoba memberikan pesan bahwa teh celup merupakan minuman anak muda.

Jadi, aplikasi AR yang kami buat saat itu adalah mengubah tampilan kemasan teh celup menjadi animasi 3D. Kebetulan konten animasinya adalah tentang kekayaan Indonesia, seperti Candi Borobudur ataupun Tari Kecak.

Untuk menikmati konten itu, seseorang harus menggunakan laptop dan menginstal aplikasi AR tersebut. Selanjutnya, aplikasi akan mengaktifkan kamera web untuk kemudian menampilkan gambar animasi ketika kemasan teh celup diarahkan ke kamera.

Saat ini, seperti apa perubahan yang terjadi mengenai AR di Indonesia?

Sebenarnya, perubahan yang paling signifikan itu hardware atau device. Pada masa itu, kita masih menggunakan media laptop, sehingga tidak efisien. Orang mau main, harus buka laptop dulu. Sekarang sudah smartphone.

Smartphone pun dulu tidak semuanya bisa. Nah, sekarang berkat kejanggihan teknologi, hampir semua smartphone sudah AR-able. Smartphone yang kian mendukung membuat ide konten-konten AR makin kreatif. Artinya, marketnya masih besar.

Bagaimana merek melihat teknologi AR sebagai satu alternatif melakukan engagement ke konsumennya?

Tujuan klien dan merek menggunakan AR berbeda-beda. Ada merek yang ingin menunjukkan sisi inovatifnya. Walaupun belum tahu dampaknya seperti apa, yang penting mereka menjadi merek pertama yang menggunakan.

Ada pula klien yang masih melihat hasil AR positif atau tidak. Kalau positif, baru dipakai.

Dari segi fungsi AR, ada merek yang menggunakan AR untuk mencipatakn awareness. Ada juga untuk menaikkan trafik situs. Ada yang hanya untuk heavy di media sosial. Ada pula untuk meningkatkan penjualan. Akan tetapi, pada awalnya, semua merek pasti tertarik dengan teknologi AR.

Selama ini, apa saja yang dilakukan merek dengan AR di Indonesia?

Ada yang ingin kemasan produknya terlihat lebih hidup. Ada juga yang ingin menggunakannya selama aktvasi merek di mal. Medianya bukan sekadar smartphone, melainkan layar besar. Tentu saja, dengan big screen, animasi yang dihasilkan jauh lebih tajam. Programnya pun juga lebih heavy.

Contoh, ketika seseorang berdiri di depan layar, mereka bisa foto bareng, dapat print-out nya, dan bisa langsung terhubung ke media sosial mereka. Bisa juga seseorang berdiri di depan layar, mereka berubah jadi karakter tertentu.

Apa yang paling banyak dilakukan?

Justru yang paling banyak itu untuk aktivasi merek. Sebab, banyak merek yang bingung untuk menghadirkan konten seperti apa ketika melakukan event. Mereka ingin cipatakan sesuatu yang keren, sehingga mereka pakai AR. Kontennya bisa foto virtual atau gem AR.

Apakah AR/VR bisa mensubstitusi periklanan konvensional, seperti iklan televisi?

Saya lebih suka konsep intergrasi. AR tidak bisa berdiri sendiri. Jika merek beriklan di televisi saja, juga tidak powerful. Sehingga, lebih baik diimbangin denga AR sebagai salah satu platform merek berkampanye. Itu jauh lebih baik ketimbang hanya sekali-dua kali merek menggunakan AR.

Apa tantangan AR&Co saat ini?

Dulu orang belum mengenal AR dan VR, sekarang sudah. Jadi, awareness AR bukan masalah lagi. Saat ini, tantangannya justru lebih kepada sumber daya. Orang sudah aware, sehingga mereka butuh konten yang lebih exciting. Orang sudah OK dengan Pokemon Go dan Snapchat, sehingga, orang menunggu-nunggu apa next-nya. Jadi, semakin banyak perusahaan AR di negeri ini, kita bisa saling berlomba untuk membuat konten kreatif.

Saat ini, perusahaan AR ataupun VR Memang tidak banyak. Namun, kami punya komunitas Augmented Reality Forum Indonesia dengan 4.000an anggota. Jadi, itu membantu transfer pengetahuan di dunia AR. Termasuk seminar mengenai AR.

Dari segi alat, ada masalah?

Saya rasa, device saat ini belum menjadi isu. Salah satu komponen penting AR adalah visual. Nah, visualisasi smartphone memang tidak semenarik apabila kita melihatnya melalui PC atau laptop. Kita sadar bahwa smartphone memiliki keterbatasan dalam menyajikan konten visual. Sebab, semakin visualnya menarik, aplikasinya semakin berat. Dan itu tidak bisa diterapkan di smartphone.

Jadi, mau diarahkan ke PC?

Tidak juga. Kita mengharapkan agar AR digunakan pada wearable device seperti smartphone. Dengan begitu, orang dapat berinteraksi AR dimana pun kapan pun. Sedangkan, PC lebih kepada aktivasi merek skala besar.

Satu proyek membutuhkan waktu pengerjaan berapa lama?

Tergantung. Karena setiap proyek berhubungan dengan programming dan animasi. Karena tim kami lumayan banyak, satu proyek diselesaikan dalam waktu satu minggu. Namun, kalau kami sedang mengerjakan banyak proyek, bisa selesai dalam waktu tiga bulan. Bahkan, ada yang pernah selama tujuh bulan.

Siapa saja klien AR&Co?

Cukup banyak. Di bidang otomotif, ada Toyota, Nissan, dan Suzuki. Di bidang FMCG, ada Unilever, Danone, Orang Tua Group, dan Garuda Food. Kita memang yang terbesar di Asia.

Apa yang membuatnya terbesar?

Terbesar dari skala proyek dan jumlah tenaga kerja. Sekarang kami punya 40 orang tenaga kerja. Dari proyek, ada ratusan proyek.

Sedangkan beberapa klien luar negeri yaitu Disney Brazil, Cartoon Network, dan perusahaan publishing di Barcelona.

Kami juga sempat membantu kampanye presiden di Nigeria. Kami juga memiliki klien dari Myanmar, Singapura, Jepang, dan banyak negara lain. Kita punya kantor di Barcelona, Singapura, Malta, dan Silicon Valley.

Jadi, ini perusahaan asli Indoneisa yang sudah mengglobal?

Ya, itu harapan kita. Namun, kami ingin terus menambah jumlah negara untuk ekspansi.

AR membantu kampanye Presiden Nigeria, seperti apa?

Kebetulan calon presiden Nigeria, yaitu Muhammadu Buhari sudah berumur 84 tahun dan masih berambisi untuk menjadi presiden. Sementera itu, masyarakat Nigeria sudah menggunakan gadget, mereka pengguna Android terbesar. Di sisi lain, swing voters di sana juga besar, yaitu 30%.

Jadi, yang kami lakukan adalah bagaimana tokoh (presiden dan wakil presiden) ini bisa lebih dekat ke masyarakat lewat apikasi. Lewat AR, si tokoh muncul di layar smartphone ketika kamera diarahkan ke logo partai, ke iklan koran, maupun ke papan reklame.

Ketika tokoh itu muncul, mereka menjelaskan visi-misinya selama satu-dua menit. Setelah itu, kita bisa berfoto bersama dengan mereka. Kita pun bisa menyebarkan foto tersebut di media sosial, dan kita juga dapat memberikan aspirasi dan pesan pribadi kepada calon presiden dan wakilnya itu.

Ternyata, aplikasi tersebut banyak digunakan di sana. Dan syukurnya, Muhammadu Bahari memenangkan pemilu dan menjadi Presiden Nigeria.

Nah, kalau proyek di Malta bagaimana?

Di Malta, AR difungsikan untuk membantu pemerintah mendongkrak pariwisata. Malta adalah negara bersejarah di Eropa, yang merupakan sebuah pulau di dekat Italia. Pemerintah sana berharap, selain sebagai city guide, AR dimanfaatkan untuk menghidupkan sejarah masa lalu Malta.

Lewat AR, ketika kamera diarahkan ke lokasi atau bangunan tertentu, orang akan tahu apa yang pernah terjadi di lokasi tersebut berabad-abad lalu.

 

Menurut pendapat Anda, seperti apa masa depan teknologi AR di dunia?

Dari segi hardware, orang tidak lagi menggunakan device terpisah untuk menggunakan AR. Tapi, sudah masuk ke wearable device seperti kacamata. Bahkan, bisa jadi dengan soft lens saja, kita bisa melihat dunia secara berbeda.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS