Kekuatan Servis yang Mendongkrak Penjualan

profile photo reporter Taufik
Taufik
01 Agustus 2024
marketeers article
Ilustrasi. (Sumber: 123rf)

Ketika masih kuat dikenal sebagai benchmark industri komputer dunia, cerita legendaris mengenai IBM justru bukan tentang berbagai jenis komputer, mulai dari mainframe sampai personal computer (PC) buatan IBM. Namun, tentang  para engineer IBM melayani kliennya. 

Saat itu ada kemacetan di kota New York, Amerika Serikat. Tapi para engineer IBM sudah janji datang ke salah satu klien yang mengalami kendala dengan komputer IBM miliknya.

BACA JUGA: Produk Lokal Diminati, Penjualan Apple di Cina Anjlok

Ternyata bukan hanya jalan macet yang menjadi tantangan para engineer IBM, tapi juga lift mati di gedung tempat klien IBM tersebut. Padahal, klien IBM tersebut berada di lantai paling atas. 

Pendek kata, para engineer IBM punya alasan valid untuk tidak datang sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dengan kliennya. Lagipula reputasi IBM dengan rangkaian produk hardware lengkap dan memiliki research and development (R&D) yang kuat pada saat itu seperti superdewa di mata dunia bisnis. 

BACA JUGA: Penjualan di Eropa dan AS Melemah, Raksasa FMCG Kelimpungan

Jadi, ada orang IBM mau janji datang melayani saja sudah dianggap bagus. Apalagi memang ada halangan bagi orang IBM yang cukup masuk akal untuk menunda atau membatalkan janji.

Namun, para engineer IBM saat itu memilih untuk memenuhi janji yang sebelumnya disampaikan. Karena jalan macet, mereka pun memutuskan turun dari mobil dan berlari kecil menuju gedung kantor kliennya. 

BACA JUGA: Semester II 2023, Penjualan Lipstik di RI Capai Rp 1,2 Triliun

Begitu tahu bahwa lift di gedung kantor kliennya mati, ternyata mereka memutuskan naik tangga, meski lokasi kantor kliennya berada di lantai paling atas. Tidak banyak detail apa bentuk service yang diberikan oleh para engineer IBM kepada kliennya saat itu. 

Upaya para engineer IBM yang all out untuk melayani kliennya di tengah-tengah sejumlah halangan itu membuat existing and potential clients begitu tertarik dengan IBM. Bahwa IBM bukan hanya bisa membuat hardware yang bagus, dan sebetulnya mahal, tapi juga punya service culture yang bagus.

BACA JUGA: Penjualan Mobil Listrik Global Naik 13%, Cina Jadi Penyumbang Terbesar

Karena itu, meski kemudian IBM punya saingan di kategori PC yang dikenal dengan nama IBM PC clone, tapi IBM punya posisi yang kuat di bisnis B2B untuk industri komputer. Meski mahal, para pelaku bisnis yang menjadi pelanggan IBM memasukkan soal service yang akan bisa diberikan setelah pembelian produk dalam paket harga pembelian. 

Istilah populernya adalah total cost of ownership. Potential B2B clients yang akan membeli berbagai produk IBM bukan hanya bertanya ke existing clients tapi juga cerita bagaimana para engineer IBM all out melayani klien di tengah-tengah sejumlah halangan. 

Artinya, selain endorsement, mereka juga mencari tahu seberapa jauh komitmen IBM dalam memberikan servis. Apakah hanya untuk pembeli besar dan banyak saja atau juga ke pembeli yang pembelanjaannya tidak banyak dan tergolong sebagai pembeli baru?

Pada paruh kedua tahun 1980-an dan awal-awal tahun 1990-an, ditemukan sejumlah iklan IBM untuk menjawab pertanyaan di atas. Temanya adalah customer yang menurut IBM adalah unsur penting bagi IBM, pada saat reputasi IBM sebagai produsen hardware computer sedang kuat-kuatnya. 

Jadi, mesti transisi dari product centric ke customer centric belum begitu populer, tapi IBM saat itu sudah mempraktekkannya dengan bonus punya kisah heroik para engineer yang melayani secara all out. Seiring dengan tren perubahan industri komputer yang bergerak ke mass market, apalagi dengan munculnya berbagai IBM PC clone, cerita mengenai servis nya IBM juga pudar. 

Tapi tidak berarti hilang sama sekali. Bahkan, justru bisa menjadi inspirasi bagi pemain lain yang selama ini menjual produk. Salah satunya adalah United Tractors di Indonesia yang memegang keagenan produk Komatsu asal Jepang di Indonesia. 

Merek ini adalah produsen hardware yang berbeda jauh dengan IBM, karena digunakan di lokasi yang jauh dari gedung perkantoran. Sebut saja pertambangan, untuk pembuatan bendungan atau jalan baru di kawasan hutan maupun perkebunan.

Di dunia, yang terkenal adalah Caterpillar, asal Amerika Serikat. Kebetulan sebagai anak perusahaan Astra International, United Tractors memang memilih produk asal Jepang. 

Caterpillar menjadi terkenal karena di Amerika memang dipakai untuk pertambangan dan juga pembuatan waduk atau jalan baru. Karena terkenal di Amerika maka untuk pasar lain menjadi mudah. 

Ini berbeda dengan Komatsu, yang di Jepang tidak punya pengalaman sebagaimana halnya dengan Caterpillar di Jepang. Apalagi Jepang adalah negara dengan sumber daya alam yang minim. 

Jadi, bisa saja Komatsu menghasilkan produk yang sama bagusnya dengan Caterpillar tapi terbatas pemakaiannya. Hanya saja, United Tractors sebagai bagian dari Astra International melihat keunikan yang bisa dipakai untuk menjual produk Komatsu di Indonesia. 

Sebagai salah satu perusahaan besar yang menjadi agen dari berbagai produk international, Astra International memang mencoba menjadikan service sebagai diferensiasinya dibandingkan para pesaing. Itu yang kemudian diterapkan di berbagai anak perusahaannya, termasuk United Tractors. 

Tentu penerapannya berbeda di antara anak perusahaan dari berbagai industri. United Tractors memiliki potential clients yang banyak berlokasi di Kalimantan mesti kreatif dalam memberikan service di lokasi dengan akses transportasi dan telekomunikasi yang susah. 

Kebetulan banyak para calon pengguna alat berat yang akan dijual United Tractors adalah para haji pemilik tanah luas yang selama ini dilihat sebagai “orang kampung” dan dianggap punya paradigma bisnis tradisional. Banyak di antara mereka dianggap cukup puas hanya menjadi pemilik tanah yang luas, dan menunggu ada orang lain yang akan membeli tanahnya dan kemudian diolah para pemilik baru. 

Tentu masa depan mereka akan menjadi terbatas jika hanya melakukan pendekatan bisnis seperti itu. Yang lebih repot lagi bagi United Tractors, kalau pembeli barunya adalah perusahaan besar, bisa-bisa akan memilih produk non Komatsu dibandingkan produk Komatsu.

Sales engineers yang ditugaskan United Tractors di Kalimantan pada akhir tahun 1980-an dan awal-awal tahun 1990-an kemudian mendekati para haji pemilik tanah-tanah luas dan punya potensi bahan tambang yang bisa diolah agar mereka mau mengubah nasib, dari jual beli tanah menjadi pengusaha pertambangan. Orang-orang United Tractors kemudian mengajarkan mereka cara pemakaian alat-alat berat tersebut. 

Selain itu, orang-orang United Tractors mau berlama-lama berada di lokasi pertambangan dan siap sedia membantu kalau ada masalah dengan alat-alat pertambangan Komatsu yang digunakan para haji yang sedang beralih menjadi pengusaha pertambangan. Ternyata, apa yang dilakukan tim United Tractors tersebut kemudian menjadi cerita yang beredar dari mulut ke mulut para haji lain yang juga tertarik menjadi pengusaha pertambangan. 

Pada akhirnya banyak produk Komatsu yang digunakan di Kalimantan. Seiring dengan membesarnya penjualan Komatsu di Kalimantan dan kuatnya reputasi service yang melekat pada United Tractors, maka dukungan after sales service Komatsu juga dibuat kian besar.

Sehingga pelan tapi pasti Komatsu punya pangsa pasar besar di Kalimantan, wilayah utama pertambangan di Indonesia. Jadi Komatsu boleh kalah di tingkat global, tapi di Indonesia beda. Ini gara-gara service.

Cerita lain mengenai converting service into sales secara tidak sengaja dialami oleh tim Lexus Indonesia, salah satu unit bisnis Astra International. Kebetulan MarkPlus membantu pengembangan market entry strategy Lexus di Indonesia pada tahun 2007. 

Saat itu, Lexus belum banyak dikenal luas di Indonesia. Padahal, merek tersebut masuk dalam kasus yang ditulis David Aaker dalam buku branding terkenal di tahun 1990-an, Building Strong Brands.

Meskipun demikian, untuk orang-orang kaya Indonesia yang pernah sekolah, bekerja atau tinggal di Amerika, Lexus adalah produk yang mereka tunggu-tunggu saat mendengar bahwa Lexus akan secara resmi masuk dan dijual di Indonesia. Melihat orang-orang seperti itu, maka salah satu rekomendasi strategis yang diusulkan MarkPlus adalah mengandalkan servis.

Bentuk dan jenis servis yang diusulkan MarkPlus berbeda dengan servis yang sudah dilakukan oleh mobil-mobil mewah lainnya di Indonesia, termasuk BMW, di mana Astra International menjadi salah satu agen di Indonesia. Karena potential buyers dari Lexus hampir sebagian besar tahu banyak tentang produk, maka tim Lexus tidak mengandalkan product knowledge, tapi kemampuan berinteraksi dengan para pembeli. 

Termasuk bagaimana bisa menjadi teman dari orang kaya tersebut. Suatu hari, pukul satu pagi, kepala tim Lexus di Indonesia ditelepon oleh salah satu pembeli mobil Lexus. 

Sang kepala tim Lexus sebetulnya punya istri yang sedang hamil dan dia pun mestinya mengutamakan istrinya. Maklum, sebagai suami siaga ia mesti siap dibutuhkan sewaktu-waktu. 

Tentu ditelepon pada jam tersebut dan tidak tahu kapan akan selesainya, bisa-bisa mengganggu waktu istirahat dan kesehatannya. Karena punya paradigma servis, telepon tersebut dilayani dan ternyata berakhir menjelang subuh. 

Begitu telepon berakhir, sang kepala tim Lexus kemudian keluar rumah menjemput pacar dari salah satu pembeli Lexus tersebut dan mengantarnya ke rumah sakit. Setelah selesai melakukan yang diminta, sang kepala tim kemudian melapor kepada yang menugaskannya.

Menjelang menutup telepon, pembeli Lexus yang baru dibantu itu menanyakan beberapa model baru Lexus. Setelah dijelaskan, sang pembeli langsung membeli tiga mobil Lexus baru. Sebuah konversi service to sales yang menarik.

Related

award
SPSAwArDS