Kemenperin Targetkan Subtitusi Impor Obat Sebesar 35% pada Tahun 2022

marketeers article
Quality Control Laboratory medicine. Chromatograph operation. A woman makes an analysis on a gas chromatograph. Development of a new vaccine against the covid-19 virus.Pharmaceutical factory

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan dapat melakukan subtitusi impor industri farmasi hingga 35% pada tahun 2022. Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama pada bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Muhammad Khayam mengungkapkan, kebijakan substitusi impor memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing. Pendekatan yang dilakukan dalam kebijakan substitusi impor dari sisi supply meliputi perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong untuk industri existing, peningkatan investasi baru, serta peningkatan utilisasi industri.

“Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik dan peningkatan investasi. Kemudian, mempercepat akselerasi program hilirisasi untuk memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional,” ujar Khayam melalui keterangannya, Senin (13/12/2021).

Khayam optimistis target yang ditetapkan pemerintah dapat tercapai pada tahun 2022. Pasalnya, industri farmasi nasional terus menunjukkan geliatnya setiap tahun. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang kimia yang tumbuh positif sebesar 9,71% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal III tahun 2021.

Tak hanya itu, dia menyebut, hingga saat ini terdapat 223 perusahaan farmasi formulasi atau produk jadi, terdiri dari empat perusahaan BUMN, yaitu PT Bio Farma Tbk., PT Kimia Farma Tbk., PT Indofarma Tbk., dan PT Phapros Tbk. Berikutnya, sebanyak 195 industri swasta nasional, serta 24 multinational company (MNC).

“Pasar farmasi Indonesia tahun 2019 sekitar Rp 88,3 triliun, tumbuh 2,93% dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, 76% hingga 80% kebutuhan produk obat nasional sudah mampu dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri,” ujarnya.

Khayam menambahkan, bahan baku pembuatan obat terdiri dari dua bagian, yaitu bahan baku aktif atau active pharmaceutical ingredients (API) dan bahan baku tambahan atau eksipien. Hingga sekarang, pemerintah bekerja keras untuk memacu investasi dan produksi dalam negeri guna menekan impor bahan baku obat.

Hal tersebut menciptakan peluang besar untuk pendalaman struktur dan pengembangan industri bahan baku dan bahan tambahan bagi industri farmasi. Selain untuk memperkuat ketahanan industri farmasi nasional, sekaligus berkontribusi terhadap kebijakan substitusi impor.

“Kemenperin berkomitmen untuk mendorong kemandirian industri farmasi sebagai sektor penting dalam menopang pembangunan kesehatan nasional melalui pengembangan industri bahan baku obat (BBO). Selain itu, ditopang melalui implementasi program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka substitusi impor,” pungkasnya..

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related

award
SPSAwArDS