Kemkominfo: Ada 850 Hoaks COVID-19 Hingga Hari Ini

marketeers article
Business employees wearing mask during work in office to keep hygiene follow company policy.Preventive during the period of epidemic from coronavirus or covid19.

Berada di era mediamorfosis membuat berbagai jenis informasi dengan mudah terdistribusi. Namun, bak pedang bermata dua, hal ini tidak selalu membawa dampak positif.

Informasi palsu (hoaks) muncul sebagai tantangan. Terkait isu COVID-19 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI mencatat, terdapat 850 hoaks yang muncul sejak awal kehadiran pandemi ini hingga hari ini.

Secara rata-rata, sekitar 6,2 hoaks dibuat dan disebarkan setiap hari. Hal ini menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian di tengah masyarakat.

“Sejak 23 Januari-15 Juni 2020, tercatat ada 850 hoaks terkait COVID-19. Namun, 104 pelaku penyebaran hoaks tersebut telah ditindaklanjuti oleh pihak Kepolisian, dan tengah berada dalam proses hukum,” terang Rosarita Niken Widiastuti, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam webinar Government Roundtable Series COVID-19: New, Next, Post episode pertama bertajuk Komunikasi Publik di Era Digital yang digelar MarkPlus, Inc., Senin (15/06/2020).

Mayoritas isi informasi hoaks di tengah pandemi (disfondemi) ini terkait dengan resep obat yang dapat menyembuhkan penyakit COVID-19.

Niken menceritakan, beberapa hari terakhir menyebar informasi yang menyebutkan jika aspirin dengan campuran lemon dapat menjadi obat yang efektif menyembuhkan COVID-19.

Nah, ini sangat menyesatkan kalau dibaca orang dan tidak melakukan pengecekan maka aka nada banyak orang yang keracunan. Hoaks jika diviralkan akan sangat berbahaya,” imbuh Niken.

Selain informasi hoaks terkait obat-obatan, isu kebijakan pemerintah pusat dan daerah pun turut menjadi isu yang terus dibentur-benturkan.

UNESCO dan PNBB membagi disfondemi ke dalam beberapa klasifikasi. Pertama, disfondemi dalam bentuk Meme dan Narasi Emosional yang mencampurkan bahasa emosional, kebohongan, dan informasi yang tidak lengkap.

Kedua, Website dan Identitas palsu yakni menampilakn informasi salah yang tampak masuk akal dalam bentuk berita. Ketiga, Gambar atau Video Manipulasi yang menimbulkan kebingungan atau ketidakpercayaan public terhadap pemerintah. Terakhir, Kampanye Disinformasi Terorganisir yang biasanya bertujuan politik untuk menjatuhkan kredibilitas, otoritas, maupun ekonomi.

“Kami berharap, masyarakat selalu melakukan check and recheck informasi. Jika ada informasi yang meragukan, silahkan diadukan di aduan konten di website Kominfo karena kami akan memberikan klarifikasi,” tutup Niken.

Related

award
SPSAwArDS