Indonesia menghadapi tekanan baru dalam perdagangan internasional seiring pengalihan minyak kelapa sawit untuk kebutuhan dalam negeri sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Kebijakan ini diperkirakan mengurangi potensi ekspor nasional hingga 30% pada 2025 karena sebagian besar crude palm oil (CPO) yang sebelumnya ditujukan untuk pasar luar negeri, kini difokuskan pada konsumsi domestik.
Dampak dari kebijakan ini meluas pada sektor ekspor unggulan lain, termasuk industri pertambangan, yang selama ini menyumbang devisa signifikan. Pengalihan fungsi komoditas utama tanpa strategi pengganti yang memadai berpotensi memperlemah kinerja perdagangan luar negeri Indonesia dalam jangka menengah.
BACA JUGA: Indonesia Tempati Peringkat 6 Eksportir Alas Kaki Dunia
Juan Permata Adoe, Co-founding Chairman Indonesian Marketing Association (IMA), mengungkap bahwa ekspor tahun 2022 mencapai US$ 291,98 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Namun demikian, tahun 2025 ini akan menurun karena semua CPO dijadikan biofuel.
“Penurunan ekspor bisa mencapai 20–30%, lantaran CPO yang sebelumnya diekspor, kini difokuskan untuk bahan bakar. Dampaknya akan terasa pada industri yang selama ini menjadi andalan pasar global,” kata Juan dalam Rakernas IMA 2025: Agile Marketing in Times of Global Distruption di Shangri-La Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu adanya pengembangan komoditas baru yang tidak bersaing langsung dengan sektor pangan. Namun, Juan menekankan bahwa aspek teknis budidaya tidak cukup. Perlu perubahan menyeluruh pada pendekatan ekonomi agar strategi pengganti bisa menyesuaikan kondisi tiap wilayah.
“Kebijakan hybrid economy yang selama ini diterapkan cenderung menyamaratakan wilayah tanpa mempertimbangkan perbedaan kapasitas dan karakteristik sosial ekonomi. Hybrid ekonomi adalah kebijakan pemerintah yang harus diubah karena tiap daerah tidak bisa disamaratakan,” tegasnya.
Pendekatan yang lebih adaptif diyakini akan memberi ruang bagi daerah untuk mengembangkan keunggulan lokal sebagai fondasi ekspor baru. Kebijakan yang responsif terhadap realitas lapangan bisa mempercepat penciptaan nilai tambah dari komoditas alternatif.
Juan mendorong agar Kementerian Perdagangan mengambil peran aktif dalam merespons dinamika ini. Ia menilai keterlambatan dalam penyesuaian strategi ekspor dapat berdampak pada posisi Indonesia dalam peta perdagangan global.
“Kami mengharapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan concern akan kendala ini dan terobosan yang harus dilakukan ke depannya,” tambah Juan.
Dalam situasi yang tidak pasti, peran kolaboratif antara pemerintah, sektor industri, dan organisasi profesional seperti IMA dinilai semakin penting. IMA melihat urgensi pembaruan strategi ekonomi yang lebih berbasis data, riset, dan keterlibatan lintas sektor untuk membaca potensi komoditas baru secara lebih akurat.
Koordinasi antarwilayah dan penguatan peran daerah dalam ekosistem ekspor juga menjadi salah satu rekomendasi. Jika dikelola secara sinergis, pendekatan ini dapat mencegah tekanan ekspor berkembang menjadi persoalan struktural.
BACA JUGA: Fi Asia Thailand & Vitafoods Asia 2025 Dorong Ekspor Pangan Thailand
Di akhir sesi, Juan menyampaikan kesiapan IMA untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam merespons tantangan global. “Melalui sinergi yang erat, diharapkan Indonesia bisa mempertahankan daya saing di tengah tekanan global yang semakin kompleks,” tuturnya.
Editor: Dyandramitha Alessandrina