Kolaborasi Jadi Kunci Jaga Stabilitas di Tengah Banjir Disinformasi

marketeers article
Talkshow interaktif “Bagaimana Menghadapi Medan Perang Baru, Cognitive Warfare: Media, Narasi, dan Membangun Persepsi!” di Antara Heritage Center, Jakarta, Senin (16/6/2025). (Dok. Kantor Komunikasi Kepresidenan)

Menghadapi arus disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian di era digital membutuhkan kerja sama lintas sektor. Pemerintah, media, dan masyarakat perlu membangun kolaborasi yang kuat untuk menjaga stabilitas sosial dan keutuhan bangsa. Tantangan ini bukan sekadar persoalan komunikasi, tetapi juga menyangkut pertahanan kognitif di ruang digital.

Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, menyatakan bahwa kesadaran kolektif menjadi elemen penting dalam menghadapi fenomena hiperrealitas. Dalam kondisi tersebut, masyarakat kerap kesulitan membedakan antara informasi yang sahih dan yang menyesatkan.

“Hal seperti ini tidak bisa dilawan oleh satu atau dua institusi saja. Ini harus dilawan bersama-sama, tapi harus dilawan oleh banyak orang dengan kesadaran yang sama,” kata Hasan dalam siaran pers kepada Marketeers, Selasa (17/6/2025).

BACA JUGA: AI Ubah Cara Orang Mencari Informasi, Brand Perlu Perhatikan 6 Hal Ini

Fenomena hiperrealitas menciptakan ruang yang sangat rentan terhadap penyebaran narasi menyesatkan. Narasi-narasi ini memengaruhi cara publik memahami isu-isu penting, termasuk kebijakan pemerintah, ketahanan energi, dan integrasi sosial.

Laporan Global Risk Report 2025 yang dirilis World Economic Forum menempatkan disinformasi sebagai salah satu ancaman terbesar bagi dunia. Jika tidak ditangani secara sistematis, dampaknya berpotensi menciptakan ketidakstabilan sosial dalam dekade mendatang.

Widodo Muktiyo, Pakar Komunikasi Publik, mengingatkan pentingnya pendekatan kolaboratif dalam komunikasi publik. Menurutnya, peran pemerintah dan masyarakat tidak bisa dipisahkan dalam konteks menjaga keutuhan informasi.

“Dalam komunikasi publik ada yang pendekatannya public centric, ada yang government centric, dan ada juga yang collaborative centric. Untuk ini, kita butuh kolaborasi, jadi kita tidak bisa pisahkan peran pemerintah dan rakyat. Kalau dipisahkan itu yang rugi kita sebagai bangsa,” tegasnya.

Kesepahaman antara pemangku kepentingan menjadi fondasi dari kolaborasi jangka panjang. Tanpa pandangan yang sejalan, respons terhadap disinformasi akan bersifat reaktif dan tidak terkoordinasi.

Widodo menyebut bahwa ketika kolaborasi dibangun atas dasar nilai kebangsaan, maka akan lahir bentuk advokasi publik yang mampu mengenali dan merespons pelaku penyebaran informasi palsu secara tepat.

Salah satu contoh nyata keberhasilan pendekatan ini terlihat dari pengalaman PT Pertamina (Persero) dalam menangani isu pengoplosan bahan bakar. Ketika beredar informasi menyesatkan soal kualitas Pertamax, Pertamina bergerak cepat dengan menggandeng media dan lembaga lain untuk memberikan klarifikasi.

“Kami koordinasi intens sesama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga dari media ikut berperan mengedukasi masyarakat tentang informasi yang benar,” jelas Fadjar Djoko Santoso, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero).

BACA JUGA: Upaya Pelindungan Informasi Data Pribadi di Era Efisiensi

Selain koordinasi antarlembaga, keterlibatan masyarakat dalam melaporkan dan memverifikasi informasi turut mempercepat proses pelurusan. Fadjar menyampaikan bahwa banyak masyarakat yang menghubungi layanan pengaduan resmi untuk memastikan kebenaran informasi yang mereka terima.

“Ketika kemarin ramai disinformasi mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) atau ramai subsidi itu, banyak masyarakat yang cross check untuk memastikan informasi itu benar atau tidak. Jadi kami berterima kasih kepada masyarakat, lewat laporannya itu bisa kami tindak lanjuti,” imbuhnya.

Setelah klarifikasi dilakukan dan data disampaikan secara terbuka, kepercayaan publik perlahan pulih. Informasi yang akurat berhasil menenangkan kekhawatiran masyarakat dan mengembalikan stabilitas opini.

“Situasi berangsur membaik setelah Pertamina dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dengan membuktikan bahwa kualitas BBM yang beredar sesuai dengan spesifikasi serta memastikan proses hukum tetap berlanjut,” pungkas Fadjar.

Editor: Dyandramitha Alessandrina

award
SPSAwArDS