Komunitisasi Harus Mampu Beri Nilai Bagi Anggota

marketeers article

Mengelola komunitas itu susah-susah gampang. Tetapi, apa pun kegiatan dan program yang ada haruslah berangkat dari komunitas tersebut dan tentunya mampu memberi nilai tambah bagi anggota. Bahkan, agenda-agenda komunitas ini kebanyakan justru berangkat dari usulan dan aspirasi anggota. Paling tidak hal itu yang dialami oleh Female Daily dan Kompasiana seperti sudah dibahas di artikel “Tren Penerbit Media Butuh Komunitas.”

Dalam hal tersebut, Affi Assegaf selaku Content and Community Director Female Daily, mencontohkan Mommies Daily yang terbentuk dari aspirasi anggota yang dulunya single kemudian menjadi ibu. Karena kebutuhan berbeda dan mereka ingin tetap dalam komunitas, dibentuklah komunitas baru tersebut. Termasuk ide membuat mobile apps datang dari mereka. Apalagi pengakses online Female Daily 80% berasal dari perangkat bergerak.

“Selain berangkat dari aspirasi anggota, yang penting untuk tetap dijaga adalah perusahaan tidak pernah mengeksploitasi mereka,” kata Affi.

Menurutnya, pendapatan terbesar Female Daily adalah iklan. Selama ini, Female Daily bekerja sama dengan banyak merek dalam beragam kampanye dengan melibatkan komunitas. Female Daily memposisikan diri sebagai konektor antara perusahaan yang ingin masuk dalam komunitas.

Meski demikian, Female Daily memiliki mekanisme hati-hati dalam mengkurasi setiap tawaran dari merek dengan tujuan agar anggota komunitas tidak merasa diperalat demi kepentingan komersial.

“Setiap kami maju ke merek, yang selalu kami ajukan adalah apa saja yang bisa memberikan values kepada komunitas kami dan bukan melulu jualan. Tak sedikit merek yang maunya jualan dan promosi. Tapi, kami tetap berpegang pada values kepada komunitas,” tegas Affi.

Komitmen ini terbukti dengan tidak diterimanya iklan susu formula di Female Daily. Kenapa? Karena Female Daily sudah berkomitmen lebih dulu dengan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Female Daily berkomitmen mengkampanyekan air susu ibu untuk balita. “Jadi, tidak semua merek yang ingin bekerjasama akan kami terima,” ungkapnya.

Di Kompasiana, hal yang sama berlaku juga. Prinsipnya, Kompasiana harus bisa memberikan sesuatu kepada para penggunanya dan juga para pembacanya. Menurut Iskandar Zulkarnaen selaku Asisten Manager Konten dan Komunitas Kompasiana,  benefit yang diperoleh bisa dari banyak sisi – baik sisi konten, bisnis, dan komunitas.

“Semua berjalan paralel. Kami mengelola konten, lalu konten itu menghasilkan sebuah model bisnis, dan model bisnis ini menghasilkan uang serta uang tersebut bisa dimanfaatkan agar produk Kompasiana bisa berkelanjutan. Termasuk juga dengan komunitas yang bisa membangun interaksi saling menguntungkan dengan klien-klien yang bermitra dengan Kompasiana,” kata Iskandar.

Iskandar menambahkan, Kompasiana itu hanyalah wadah dan produser kontennya adalah warga (user generated content). Benefit bagi warga yang sudah didesain dari awal adalah benefit personal branding, aspirasi warga didengar, dan sebagainya.

Dengan komitmen memberi benefit kepada para pembuat konten, produksi konten di Kompasiana akan tetap jalan. Dan, ini menumbuhkan advokasi di kalangan mereka untuk turut mempromosikan secara word-of-mouth kepada orang lain.

Aturan di Kompasiana cukup ketat demi menjaga kualitas konten. Misalnya, tidak memuat hal yang SARA, konten tidak boleh jualan, tidak ada backlink ke tempat jualan, bukan hasil menjiplak, dan sebagainya. Begitu ditemukan pelanggaran, artikel itu akan dihapus.

Lalu, bagaimana komunitas ini memanfaatkan kanal offline dan online?

Related

award
SPSAwArDS