Lesson Learned dari Blunder Branding Google dan Coca-Cola

marketeers article
Ilustrasi branding. Sumber: 123RF

Tidak semua kampanye branding berjalan sesuai rencana. Bahkan, merek sebesar Google dan Coca-Cola pun bisa tersandung saat mencoba menyampaikan pesan emosional di tengah derasnya teknologi.

Yang mereka lakukan bukan hanya soal eksekusi yang kurang tepat, tetapi juga minimnya sensitivitas terhadap konteks dan harapan audiens. Dari sini, kita bisa menarik pelajaran penting: tidak semua hal cocok dibungkus dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence / AI).

Melansir Medium, Google merilis kampanye “Dear Sydney” untuk menampilkan kecanggihan AI mereka, Gemini. Ceritanya tampak menjanjikan, yang mana seorang ayah membantu putrinya menulis surat kepada atlet idolanya, Sydney McLaughlin-Levrone.

Namun alih-alih menyentuh hati, kampanye ini justru menimbulkan kesan yang salah. Alih-alih memberi bimbingan, sang ayah sepenuhnya menyerahkan proses penulisan kepada AI.

Hasilnya? Momen personal yang seharusnya penuh makna berubah menjadi generik dan hampa. Masalah utama Google adalah menempatkan teknologi di ruang yang terlalu manusiawi.

Olimpiade adalah simbol dari perjuangan, ketekunan, dan pencapaian manusia. Ketika cerita yang seharusnya menggugah justru didelegasikan ke mesin, pesan yang muncul terasa dingin dan kehilangan jiwa.

Bukannya memperkuat kreativitas, penggunaan AI justru dianggap merusak keaslian. Respons publik pun tidak memihak.

Banyak yang menilai Google melewati batas, membawa teknologi masuk ke ranah emosional yang mestinya tetap dimiliki manusia. Kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan ekspresi dan koneksi antarindividu kembali mencuat, dan kampanye ini mempertegas kecemasan tersebut.

BACA JUGA: 5 Langkah Efektif Membangun Branding yang Kuat

Coca-Cola mengalami hal serupa. Dalam kampanye Natal 2024, mereka mencoba menghidupkan kembali nuansa klasik menggunakan teknologi AI. Visualnya memang memukau.

Truk merah ikonik, lampu gemerlap, dan suasana hangat khas liburan. Namun, ada satu hal yang hilang, yakni emosi.

Meskipun tampak megah, banyak orang merasa iklan ini tidak menyentuh. Ada kesan asing, tidak akrab, dan sedikit off.

Yang dulunya kuat dalam storytelling kini terasa, seperti eksperimen visual. Alih-alih menghadirkan nostalgia, Coca-Cola justru kehilangan koneksi dengan audiensnya.

Penggunaan AI malah dipersepsikan sebagai cara memangkas biaya produksi, bukan bentuk inovasi kreatif. Iklan ini dinilai kurang tulus, terlalu kaku, dan tanpa sentuhan manusia.

Kedua kampanye ini menunjukkan satu hal penting. Teknologi, termasuk AI, sebaiknya digunakan untuk memperkuat cerita, bukan menggantikan sisi manusia di dalamnya.

BACA JUGA: Rebranding, Dyandra Promosindo Kenalkan Logo Baru

Konsumen masa kini peka terhadap niat dan cara penyampaian brand. Mereka bisa membedakan mana yang terasa autentik, mana yang sekadar gimik.

Ketika elemen emosional diambil alih mesin, kedalaman cerita pun ikut menghilang. Jadi, sebelum buru-buru ikut tren AI, ada baiknya bertanya dulu, apakah teknologi ini benar-benar memperkaya narasi, atau justru mengikis makna?

Branding yang kuat lahir dari kejujuran, empati, dan pemahaman konteks, bukan sekadar visual canggih atau teknologi terbaru. Masih bingung bagaimana membangun branding yang relevan dan berdampak di tengah kemajuan teknologi?

Ikuti Kelas Marketeers edisi Branding Playbook pada 10–11 Juli 2025. Dapatkan insight langsung dari para ahli industri, pelajari strategi yang tepat, dan pastikan brand Anda tetap punya nyawa di era digital ini.

Daftar segera di sini.

award
SPSAwArDS