Melihat Momentum Tepat Untuk Membangkitkan Industri Farmasi Lokal

marketeers article
37082550 bucharest, romania february 23, 2015: medical drug pills and supplements on pharmacy stand.

Pandemi COVID-19 yang begitu masif membuat kesigapan semua negara meningkat, termasuk dalam hal ketersediaan obat-obatan. Begitu juga di Indonesia. Hal ini tidak dapat terlepas dari ketahanan industri farmasi nasional yang merupakan salah satu pilar penting pembangunan kesehatan nasional.

Hanya saja, rantai suplai industri farmasi masih bermasalah. Besarnya ketergantungan industri farmasi Indonesia akan impor bahan baku obat dan alat kesehatan menjadi sorotan di tengah pandemi ini.

Pietradewi Hartrianti, Faculty Member dari Departement Farmasi Institute for Life Science (i3L), menjelaskan bahwa Indonesia masih tergantung impor bahan baku farmasi dari China dan India. Ketergantungan yang tinggi itu membuat daya saing obat nasional tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir.

Sebenarnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Kimia Farma (Persero) Tbk, sudah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak tahun 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Meski masih dalam skala relatif kecil.

“Fasilitas itu hanya terbatas pada delapan bahan baku obat. Dan, bahan baku obat tersebut tidak berhubungan dengan penangggulangan atau terapi COVID-19,” ujar Pietradewi dalam keterangan resminya

Pietradewi menjelaskan belum ada langkah antisipasi yang dapat dilaksanakan apabila produk bahan baku tersebut terhenti. Selain itu, penggantian bahan baku memerlukan proses pelaporan registrasi ulang kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga sulit untuk mengganti produsen bahan baku obat.

“Biasanya industri farmasi memiliki beberapa supplier bahan baku dari negara berbeda yang disertakan bersamaan pada saat registrasi. Akan tetapi, apabila jalur masuk produk impor ditutup, maka produksi obat akan terancam,” katanya.

Pietradewi menambahkan sejatinya BUMN lain yakni PT Bio Farma (Persero) memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Tetapi bahan baku untuk memproduksi vaksin juga masih ada yang bergantung pada bahan baku impor.

“Permasalahan bukan hanya pada kapasitas Indonesia untuk memproduksi bahan baku farmasi, akan tetapi kapasitas pengadaan bahan baku kimia atau biologis untuk proses sintesis. Juga, purifikasi pada saat produksi bahan baku yang masih banyak yang bergantung pada impor,” pungkasnya.

Momentum

Wabah coronavirus yang melanda di seluruh negara di dunia dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Sekaligus melepas dari ketergantungan impor produk kesehatan.

Leonny Yulita Hartiadi, Ketua Program Studi Sarjana Farmasi Indonesia International Institute for Life Science (i3L) menjelaskan pada saat virus Covid-19 masuk ke Indonesia, terjadi kelangkaan barang yang penting untuk pencegahan virus. Seperti hand sanitizer, alkohol, masker, alat pelindung diri, suplemen dan multivitamin.

Namun dengan seiring bertambahnya waktu, farmasi di Indonesia mulai beradaptasi terhadap tantangan-tantangan yang muncul akibat munculnya pandemi COVID-19.

“Pemerintah memberi kelonggaran dalam memberi izin impor bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan. Selain itu, izin perusahaan alat kesehatan juga dipercepat. Dukungan dari pemerintah ini berperan dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan dan alat medis di Indonesia,” kata Leonny.

Ke depannya, Leonny mengharapkan pemerintah agar dapat memproduksi alat kesehatan guna penangangan pandemi ini. Baik industri bahan baku obat, farmasi, alat perlindungan diri (APD), juga masker dan industri ventilator.

Hal ini sesuai amanat Presiden Joko Widodo yang sebelumnya pernah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Related

award
SPSAwArDS