Mengatasi Quiet Quitting Konsumen dengan Brand Building

marketeers article
Ilustrasi quiet quitting. (Sumber: 123rf)

Beberapa waktu lalu, istilah quiet quitting menjadi perbincangan hangat. Istilah ini mengacu pada budaya di tempat kerja. Tidak berkaitan dengan berhenti dari pekerjaan atau resign, quiet quitting adalah sikap seseorang yang berhenti melakukan sesuatu yang ekstra dalam pekerjaannya.

Artinya, dalam penerapannya, seseorang menetapkan batasan kehidupan kerja agar lebih seimbang.

Tak hanya oleh pekerja, tren ini juga terjadi di dunia bisnis, khususnya dalam hubungan antara brand dan konsumennya. Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science memberikan penjelasannya terkait hal tersebut.

BACA JUGA Apa itu Brand Switching? Definisi dan Penyebabnya

Menurut Untung, quiet quitting dalam dunia bisnis adalah ketika konsumen berhenti menggunakan suatu produk secara diam-diam, tanpa berbicara ke khalayak publik. Fenomena ini dapat terjadi disebabkan oleh dua hal, yakni kecewa dengan brand dan konsumen menemukan produk yang lebih baik.

“Mereka (konsumen) melalukan ini secara diam-diam karena kecewa tapi merasa tidak tau apa yang mau dikomplain. Lalu bisa juga karena kecewa dan tidak percaya kalau brand bisa berubah,” ujarnya dalam program Market Think yang tayang di Marketeers TV.

BACA JUGA Bukan Cuma Logo, Ini 7 Ceklis Penting Membangun Sebuah Brand

Hal ini harus menjadi perhatian oleh brand owner. Menurut Untung, fenomena ini harus dikelola oleh perusahaan melalui komunikasi. “Komunikasi itu harus dibangun dan dilakukan lebih dari sekadar transaksional,”

Hubungan yang baik antara perusahaan dan konsumen, Untung menambahkan, akan membantu meminimalisir adanya komplain. Lebih penting dari itu, brand juga harus membangun sense of responsibility dan trustworthy agar para konsumen tidak melakukan komplain atau melakukan quiet quitting.

Dibutuhkan Brand Building

Dalam mengatasi quiet quitting dengan membangun sense of responsibility dan trustworthy, penting bagi perusahaan melakukan brand building. “Perusahaan perlu spend time untuk bangun kredibilitas dan bangun persepsi bahwa brand-nya dapat dipercaya,” tutur Untung.

Dengan begitu, konsumen pun akan melihat bahwa brand dapat memperbaiki apa yang menjadi kekurangannya. Hal ini tentu akan bermanfaat bagi penjualan yang meningkat dan komplain pun akan menurun.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related

award
SPSAwArDS