Menperin Ingatkan Industri Manufaktur Bersiap Hadapi Dampak Perang Iran-Israel

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperingatkan pelaku industri manufaktur untuk bersiap menghadapi dampak negatif akibat perang Iran dan Israel. Memanasnya ketegangan antara kedua negara diproyeksikan bisa meningkatkan harga bahan baku, energi, dan rantai pasok.
Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian menjelaskan, konflik militer antara Iran dengan Israel telah memicu gangguan signifikan di pasar global, tak terkecuali bagi sektor manufaktur menghadapi resiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik dan pelemahan permintaan ekspor. Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, dan gangguan rantai pasok bahan baku.
BACA JUGA: Industri Manufaktur Optimistis Tetap Serap Pekerja di saat Tekanan Ekonomi
Dampak langsung konflik Iran dan Israel paling terlihat di pasar energi, di mana peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama yang menyumbang hampir 30% produksi global membuat pasar waspada. Gangguan pada produksi energi Iran yang produksinya mencapai 3,2 juta barel per hari akan memicu gangguan pasokan sekaligus memicu fluktuasi harga energi dipasar internasional.
Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara US$ 73 hingga US$ 92 per barel paska perang Iran dan Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20% pada 2025. Volatillitas harga energi dunia ini juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur pasokan energi dunia.
BACA JUGA: Menperin Mengaku Sulit Bangun Industri Manufaktur di Indonesia
“Kami menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi,” kata Agus melalui keterangan resmi, Rabu (18/6/2025).
Selain itu, mitigasi juga dibutuhkan mengantisipasi gangguan pada rantai pasok global terutama pada rantai pasok bahan baku industri karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati timur tengah yang sedang dilanda konflik terbuka saat ini.
Agus juga mengingatkan industri manufaktur juga memitigasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang yang berakibat terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri. Menurutnya, energi bagi industri adalah sesuatu yang vital, tidak hanya sebagai sumber energy produksi, tetapi juga sebagai bahan baku dalam proses produksi.
Oleh arena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien dalam penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri.
“Hal ini juga sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo,” katanya.
Kemenperin mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi. Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan.
“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” tambah Agus.
Bahkan, Kemenperin terus mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.
Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global. Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Ketiga faktor ini logistik, inflasi, dan nilai tukar secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” pungkasnya.