Mimpi ASEAN Menjadi Satu Kekuatan Ekonomi

marketeers article

ASEAN telah merayakan hari jadinya ke-50, sejak organisasi ini didirikan pada tahun 1967 sebagai blok anti-komunis saat puncak perang militer Amerika Serikat di Indocina. Kendati demikian, negara-negara berorientasi sosialis seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam (KLMV) kini berlabuh menjadi bagian dari ASEAN.

Sejak dua setengah dekade terakhir, fokus ASEAN mengalami perubahan dari sekadar integrasi peredam konflik di sekitar kawasan, menjadi sebuah pasar ekonomi baru. Semangat ini tertuang dalam berbagai deklarasi ASEAN yang didengungkan saat KTT ASEAN setiap tahunnya. Bahwa tujuan ASEAN adalah untuk memiliki satu Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Salah satu ciri MEA adalah terjadinya transfer arus barang/jasa, modal/investasi, serta tenaga kerja terampil secara bebas. Dengan demikian, ASEAN akan menjadi satu basis produksi, satu pasar regional, tentu saja menjadi satu kekuatan ekonomi tanpa batas.

Untuk mencapai tujuan itu, ASEAN telah mencetak blue print pada tahun 2007 agar MEA terrealisasi pada tahun 2015. Blue print MEA 2015 akhirnya mesti molor dari rencana dan diganti dengan blue print MEA 2025.

Kenyataannya, menjadi satu basis ekonomi tidak serta-merta terjadi hanya karena tarif ekspor-impor intra-ASEAN menjadi nol. Banyak hal yang perlu dibenahi. Sebab, perdagangan antarnegara ASEAN masih terlampau kecil.

Secara rata-rata, ekspor produk ASEAN ke dunia tak sampai seperempat dari total eskpor global. Di sisi lain, perdagangan negara-negara non-ASEAN seperti China tumbuh berkali-kali lipat.

Faktanya ASEAN berisikan 10 negara dengan sepuluh tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda-beda. Berbagai alasan historis, politik dan ekonomi membuat kawasan ini berkembang secara tidak merata.

Kantor Interational Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional di Bangkok pada tahun 2007 pernah mencatat bahwa terjadi “kesenjangan yang signifikan” di antara negara-negara ASEAN.

Lembaga di bawah PBB ini menyebut bahwa pada tahun 2005, PDB per kapita di Singapura 2,6 kali lebih besar daripada di Malaysia dan 3,5 kali lebih banyak ketimbang di Thailand. Selebihnya, PDB per kapita Singapura 11 kali lebih tinggi ketimbang Kamboja, Laos, dan Myanmar.

ILO melanjutkan, untuk dapat mengurangi kesenjangan PDB per kapita antara Singapura dan Kamboja sebesar 25% saja, memakan waktu 15 tahun. Dengan kata lain, penurunan gap sebesar 50% akan memakan waktu sekitar 30 tahun.

Kesenjangan PDB per kapita tidak hanya bertahan; melainkan juga semakin melebar. Pada tahun 2014, Economic Research Institute untuk ASEAN dan Asia Timur melaporkan bahwa Singapura memiliki PDB perkapita nominal sebesar US$ 56.287, yang mana 53 kali lebih besar daripada PDB per kapita Kamboja yang sebesar US$ 1.105.

Yang juga mengganggu adalah koefisiensi gini atau ketimpangan pendapatan yang tumbuh di setiap negara ASEAN, bahkan di Singapura yang merupakan negara kaya. Negara ASEAN yang lebih maju lainnya, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand, memiliki koefisien gini di atas 0,40, atau dalam kata lain ketimpangan pendapatan mereka masih sangat tinggi.

Dari sektor tenaga kerja, pekerja informal menyumbang dua pertiga dari total kelas pekerja di ASEAN. Pekerja informal tersebut meliputi kaum miskin pedesaan, para petani kecil, nelayan, pengusaha mikro, produsen rumahan, pedagang kaki lima, dan pekerja rumah tangga.

ASEAN juga dihadapkan pada isu pekerja ekspatriat yang menduduki posisi strategis dan berpengaruh di perusahaan. Belum lagi dengan adanya pekerja migran asal China yang mulai membanjiri bursa pekerja kasar di sejumlah negara kawasan. Terlebih, perusahaan-perusahaan lokal –dan multinasional- saat ini lebih menyukai tenaga kerja outsourching ketimbang merekrutnya sebagai tenaga kerja penuh.

Yang jelas, tantangan utama bagi ASEAN adalah bagaimana mempersempit kesenjangan ekonomi yang tidak hanya antarnegara ASEAN, tetapi juga di masing-masing negara anggota. Pentingnya menutup kesenjangan ini secara luas diakui oleh Sekretariat ASEAN dan negara-negara anggota.

Masalahnya adalah bahwa tidak ada dana pembangunan untuk menutup kesenjangan, serupa dengan yang dimiliki Uni Eropa pada tahun 1960an-1980an.

Ini berarti ASEAN harus lebih berani dan kreatif dalam menyusun program pembangunan ekonomi yang mempromosikan inklusivitas dan pertumbuhan yang seimbang di seluruh wilayah ASEAN, bahkan jika program ini sedikit menyimpang dari program liberalisasi ASEAN yang terbuka.

Misalnya, negara-negara yang tertinggal dalam pembangunan harus didorong untuk melakukan diversifikasi dan modernisasi ekonomi mereka sesuai dengan prioritas nasional masing-masing, tidak harus didasarkan pada komitmen liberalisasi yang tertuang dalam cetak biru AEC.

Sehingga, pertanyaan akhirnya adalah mampukah ASEAN keluar sebagai kekuatan ekonomi baru yang benar-benar diperhitungkan di mata dunia? Atau kah ini masih sebatas angan-angan belaka?

 

Related

award
SPSAwArDS