Pakar IPB: Risiko Migrasi BPA Paling Tinggi Ada Pada Makanan Kaleng

marketeers article
Ilustrasi BPA (Sumber:123RF)

Informasi terkait rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mencantumkan label BPA pada galon air minum kemasan, yang beredar secara luas di media hingga saat ini, menjadi perhatian para ahli dan peneliti di bidang teknologi pangan Institut Pertanian Bogor (IPB). Para peneliti pun mengkritisi pemberian label BPA pada galon air minum dalam kemasan.

“Risiko migrasi BPA yang paling tinggi ada pada makanan-minuman kaleng. Jadi kalau mengkaitkan resiko BPA dengan galon air minum dalam kemasan berbahan polikarbonat itu aneh. Karena walau dijemur pada suhu 36 derajat celcius pun galon polikarbonat tidak apa-apa,” kata Dr. Nugraha Edhi Suyatma, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknologi Pangan IPB pada sebuah webinar yang digelar organisasi Ruang Lestari beberapa waktu lalu.

Nugrah melanjutkan, potensi migrasi BPA di galon polikarbonat menurut hasilan kajian ilmiah berada di titik 80 derajat celcius. Begitu juga dengan kekuatan menahan benturannya, galon polikarbonat terbilang tangguh.

“Sedikit menyegarkan ingatan, zat Bisphenol-A (BPA) ini digunakan untuk produksi plastik polikarbonat atau epoksi resin. Bentuk penggunaannya pada galon, botol susu bayi, dan kaleng makanan-minuman sebagai pelindung bagian dalam. Maka dari itu cukup kaget dengan pemberitaan yang mengklaim BPOM ingin mencantumkan label berpotensi berisiko BPA pada galon polikarbonat,” ujar Nugraha.

Keunggulan BPA pada galon dan epoksi resin adalah melindungi isi dalam kemasan karena sifatnya yang lebih tahan panas, polikarbonat jadi lebih kuat, tidak mudah luruh. Apalagi dalam kemasan kaleng, BPA melindungi isi makanan-minuman di dalamnya agar tidak mudah terkena korosi kaleng.

Di sisi lain, kajian Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan belum ada risiko bahaya kesehatan terkait BPA karena data paparan BPA terlalu rendah untuk menimbulkan bahaya kesehatan. EFSA menetapkan batas aman paparan BPA oleh konsumen sebesar empat mikrogram/kg berat badan/hari.

Sebagai ilustrasi, seseorang dengan berat badan 60 kg masih dalam batas aman jika mengonsumsi BPA 240 mikrogram/hari. Penelitian tentang paparan BPA (Elsevier, 2017) menunjukkan kisaran paparan BPA sehari-sehari sekitar 0,008-0,065 mikrogram/kg berbanding berat badan/hari, sehingga belum ada risiko bahaya kesehatan terkait paparan BPA.

Kabar pencantuman label BPA pada air minum dalam kemasan galon oleh BPOM sudah bergulir sejak November 2021 lalu. Dalam berbagai pemberitaan, BPOM mewajibkan AMDK galon untuk mencantumkan label berpotensi berisiko BPA dalam kemasan, atas nama kepentingan perlindungan konsumen.

Menurut Nugraha bahkan BPOM sampai saat ini juga belum mengundang orang-orang yang ahli di bidangnya untuk diajak berdiskusi terkait perubahan ini. Informasi rencana pelabelan BPA pada AMDK galon pun telah menjadi polemik dan membuat beberapa pihak memantau independensi BPOM dalam isu ini.

Nugraha pun menganalogikan persoalan ini dengan minyak goreng kelapa sawit yang dalam kenyataannya tidak memiliki kandungan kolesterol. “Jadi kita tidak perlu terlalu khawatir dengan masalah ini. Sebagai contoh, minyak goreng sawit yang klaimnya tidak mengandung kolesterol tidak boleh karena secara alami memang tidak mengandung kolesterol. Ini bisa dianggap menyesatkan dan membohongi publik karena memang secara natural tidak mengandung kolesterol,” ujar Nugraha.

Lebih lanjut, CEO Ruang Lestari Auhadillah Azizi mengungkapkan BPOM perlu membuat klarifikasi atas beredarnya wacana rencana pelabelan BPA untuk AMDK galon. Ia mengindikasikan adanya persaingan bisnis yang menunggangi isu ini.

“Yang berbahaya itu jika kaitannya ke persaingan usaha karena sudah ada brand yang sudah mencantumkan label BPA Free. Ini harus dijelaskan apakah ada persaingan bisnis yang melibatkan pembuat kebijakan,” ungkap Auhadillah.

Ia mengungkapkan, sudah saatnya para pakar bersuara secara lisan dan tulisan terhadap isu pelabelan BPA pada AMDK galon agar tidak menjadi bulan-bulanan di publik dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. “Jangan sampai ada penilaian bahwa BPOM bersikap tidak adil dan netral. Ini akan menjadi distorsi tidak sehat di industri AMDK galon. Perlu ada dorongan BPOM mengklarifikasi dengan basis ilmiah agar tidak menyesatkan konsumen,” katanya.

Sementara itu, isu pelabelan BPA pada AMDK galon tentu berimbas pada konsumen sebagai pengguna. Dr. Agustina M. Purnomo, Peneliti Bidang Keluarga dan Konsumen Ruang Lestari mengemukakan, faktor kepercayaan konsumen kepada BPOM adalah hal yang harus dipertahankan. “Kita sulit melawan isu yang belum tentu kebenarannya yang telah beredar melalui media. Satu-satunya yang harus dipertahankan adalah kepercayaan kepada pembuat regulasi dalam hal ini BPOM,” kata Agustina. “Dari sisi konsumen yang paling penting adalah keamanan ketika mengonsumsi produk yang digunakan. Hal ini perlu diedukasi.”

Related

award
SPSAwArDS