Jonan: Pandemi Jadi Momentum Kampanye Sumber Energi Terbarukan

marketeers article
Solar Panels In The Park Of Modern City

Kondisi pandemi COVID-19 berdampak besar pada sektor energi dunia. Pada April ini OPEC+ sudah sepakat untuk memangkas produksi.

Menurut Ignasius Jonan, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak dunia diturunkan karena memang saat ini permintaan di pasar menurun.

Baginya, harga minyak dunia dipengaruhi oleh beragam faktor mulai dari produksi dan konsumsi, serta pergerakan politik global yang sulit untuk diprediksi. Penurunan produksi untuk beberapa industri di dunia menyebabkan angka permintaan pun mengalami penurunan.

Meskipun begitu, Jonan yakin bahwa situasi ini hanya sementara. “Kejadian ini tidak akan berlangsung selamanya. Pasti akan berakhir. Memang setiap negara akan berbeda waktu dan durasinya. Seperti China yang sudah mulai mereda, sementara Amerika Serikat terlihat masih menghadapi wabah ini,” terangnya pada acara Industry Roundtable: Surviving The Covid-19, Preparing The Post, Selasa (14/4/2020).

Meskipun ia meyakini bahwa situasi saat ini sementara, namun tidak ada satu negara pun yang bisa memprediksi kapan situasi akan kembali normal.

“Tidak ada yang bisa tahu kapan harga minyak ini akan berapa. Praktiknya tidak bisa dengan sekadar teori,” jelas Jonan.

Dalam situasi ini, sambung Jonan, para pelaku di industri energi bisa mengambil nilai positif yang patut diperhatikan. Ia mencontohkan bahwa selama masa pandemi ini ada penurunan emisi gas karbon. Hasil penelitian The Global Carbon Project menunjukkan bahwa pandemi virus corona menurunkan emisi karbon hingga 5%. Angka tersebut merupakan penurunan terbesar sejak Perang Dunia II.

Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri energi di Indonesia untuk memperkenalkan sumber energi yang lebih ramah lingkungan, atau berinvestasi pada hal-hal yang mengarah pada lingkungan yang hijau, seperti masalah pengelolaan limbah.

“Dengan adanya pengurangan emisi yang besar, setelah ini akan ada gerakan untuk membuat lingkungan lebih baik. Pelaku industri energi bisa masuk dan mendukung gerakan ini. Misalnya dengan memperkenalkan penggunaan energi terbarukan,” jelasnya.

Namun penerima gelar Marketeer of the Year 2014 ini tidak menampik bahwa energi terbarukan saat ini harganya masih lebih mahal dibandingkan energi konvesional. Untuk hal ini, dibutuhkan kreativitas antara pemain dengan pembuat regulasi. Misalnya, pemerintah memberikan insentif yang mendorong masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih hijau. Di sisi pelaku, perusahaan energi bisa memberikan skema harga yang sesuai atau dengan sistem pembiayaan yang bisa meringankan banyak kalangan.

Jonan memprediksi seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan juga tingkat konsumsi masyarakat, kebutuhan akan energi akan semakin meningkat. Sementara, energi konvesional seperti minyak dan batu bara akan segera habis dan tidak akan cukup memenuhi kebutuhan tersebut.

“Banyak orang berpikir kalau kita ini ketinggalan soal clean energy. Walaupun saat ini clean energy harganya memang relatif lebih tinggi, tapi dengan berjalannya waktu dan kebutuhan, maka harganya akan lebih terjangkau,” ungkapnya.

Ia mencontontohkan, sumber energi listrik bisa beralih dari batu bara dan minyak menuju energi matahari. Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa mendapatkan energi dari sinar matahari yang cukup.

Sementara untuk kendaraan, kombinasi antara mobil listrik dan hybrid harus bisa diterapkan di Indonesia. Ia melihat saat ini menjadi momentum yang tepat untuk memanfaatkan tren soal lingkungan yang sehat dan hijau kepada industri energi dalam negeri.

Related

award
SPSAwArDS