Penggunaan Aspartam, Bahaya atau Aman? Ini Kata Dokter

marketeers article
Ilustrasi dokter dan pasien. Sumber: 123RF

Belakangan ini, kembali beredar pesan berantai yang mencantumkan daftar produk minuman yang disebut berbahaya karena mengandung aspartam. Pesan tersebut memuat klaim serius seperti risiko kanker otak, pengerasan sumsum tulang, hingga diabetes, lengkap dengan nama-nama merek terkenal dan narasumber yang diklaim berasal dari kalangan medis.

dr. Gia Pratama, kepala Instalasi Gawat Darurat di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Selatan sekaligus content creator kesehatan menjelaskan aspartam telah lama digunakan dalam produk makanan dan minuman rendah kalori.

BACA JUGA: Fresh Graduate Perlu Waspadai Octo-Hire, Tren Karier yang Picu Burnout

“Penggunaan aspartam cukup umum, terutama di kalangan individu yang sedang menjalani program penurunan berat badan. Zat ini bisa menjadi bagian dari strategi transisi dalam usaha mengurangi asupan gula, tanpa menghilangkan sepenuhnya rasa manis dari makanan atau minuman,” ujar dr. Gia dalam siaran pers kepada Marketeers, Selasa (24/6/2025).

Dari sisi regulasi dan pengawasan, aspartam merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling banyak diteliti di dunia. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) secara resmi telah menanggapi kabar bohong yang kerap beredar.

Lembaga otoritatif lain seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), serta Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa aspartam aman dikonsumsi selama tidak melebihi batas asupan harian yang dianjurkan.

“Saya ingin menekankan pentingnya edukasi publik terkait konsumsi pemanis buatan. Penggunaan aspartam tetap perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan tentunya sebaiknya dikonsumsi dalam batas wajar,” ujar dr. Gia.

BACA JUGA: 4 Tren Kesehatan yang Perlu Dihindari Menurut Ahli Gizi

Isi pesan viral yang menyebut aspartam sebagai penyebab kanker otak, kerusakan sumsum tulang, dan penyakit lain terbukti tidak akurat. Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara resmi menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan rilis atau pernyataan tentang daftar minuman penyebab kanker.

Penyebaran informasi palsu seperti ini tidak hanya menimbulkan kepanikan, tetapi juga dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap produk yang sebenarnya aman dan telah melalui uji kelayakan. Bahkan, tidak jarang informasi yang keliru justru membuat konsumen menghindari pilihan yang lebih sehat hanya karena takut pada isu yang tidak berdasar.

“Menjadi sehat tidak cukup dengan menjauhi gula, karbohidrat, atau bahan kimia, tapi juga dengan menjauhi informasi yang menyesatkan. Di tengah derasnya arus hoaks, sikap kritis adalah bagian dari gaya hidup sehat,” tutur dr. Gia.

Editor: Ranto Rajagukguk

award
SPSAwArDS