Penyebab Layanan Bank di Indonesia Mirip dan Kurang Terdiferensiasi

marketeers article

Semua bank berlomba-lomba mencari nasabah sebanyak-banyaknya. Namun, upaya untuk mencari nasabah tersebut tidak akan tercapai kalau bank tersebut tidak memiliki diferensiasi yang kuat. Diferensiasi ini diperlukan agar konsumen bisa melihat faktor pembeda yang menjadi keunggulan bank tersebut dibanding pesaingnya. Sayangnya, bila dilihat dari tren sekarang, diferensiasi bank-bank tersebut kurang kentara. Kelihatannya, hampir semua produk maupun layanan dari bank-bank tersebut mirip dan tidak ada bedanya. 

Coba ingat kembali, apa yang membuat Anda menjatuhkan pilihan kepada suatu bank? Mungkin, butuh beberapa waktu bagi Anda dalam menentukan pilihan. Dilihat dari jenis layanan, hampir semua bank memiliki layanan yang serupa. Lantas, apa yang membuat Anda jatuh cinta pada bank Anda saat ini?

Ramah dalam pelayanan, ATM tersedia di mana-mana, banyak hadiahnya, mudah diakses, ada internet banking, kartu kreditnya banyak promonya merupakan berbagai alasan masyarakat dalam menentukan bank. Padahal, berbagai alasan tersebut telah diakomodasi oleh hampir semua bank.

Bila semua bank tak keluar dengan diferensiasi yang mencolok, bukan tak mustahil bila masyarakat merasa bingung dalam menentukan. Lantas, apa yang menyebabkan layanan pada bank di Indonesia cenderung mirip? Jawabannya sederhana, layanan di bank sudah generik. Hal ini akibat dari jiplak-menjiplak sistem yang sudah lebih dulu diterapkan oleh bank lain.

Contohnya, ketika BCA memperkenalkan Greetings untuk nasabah, akhirnya semua bank mengikuti. Saat layanan internet banking yang diusung BCA mendapat respons positif dari masyarakat, bank lain pun mengikuti jejaknya. Inovasi menjadi hal yang diperlukan untuk semua industri, tak terkecuali dalam industri perbankan. Bila hanya adem ayem menunggu dan menjiplak inovasi yang dilakukan oleh bank lain akan menciptakan suasana yang senada. Bonusnya, siap-siap dicap sebagai bank copycat!

Bisa jadi, bank-bank tersebut memiliki diferensiasi. Sayangnya, kurang ada komunikasi yang komprehensif dari bank kepada konsumennya. Selain itu, yang tidak kalah penting, angka literasi kuangan dan perbankan di Indonesia masih tergolong lemah. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan Indonesia pada tahun 2013 sebesar 21,8%. Angka terbilang jauh lebih rendah dibanding Singapura yang mencapai 91%. Menjawab persoalan ini, perlu adanya edukasi menyeluruh untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan tersebut.  

Data dari OJK tahun 2013 juga memperlihatkan 51% keuangan keluarga Indonesia ditentukan oleh perempuan. Perempuan boleh dibilang memainkan peran Chief Financial Officer dalam keluarga. Sebab itu, edukasi literasi ini juga harus memperhatikan kaum perempuan. Selain itu, data OJK juga menunjukkan 33% usaha kecil di Indonesia pun dikuasai oleh perempuan.
 
Terkait tingkat literasi, OJK mencatat perempuan Indonesia masih berada di angka 18,84% dan tingkat literasi kaum pria lebih tinggi sebesar 24,87%.
 
Apa artinya angka tersebut? Artinya, dengan tingkat literasi yang masih rendah, bisa dimaklumi kalau masyarakat konsumen tidak bisa membedakan mana produk dan layanan perbankan yang bagus. Mereka juga kurang bisa membedakan diferensiasi dari produk maupun layanan yang ditawarkan oleh bank-bank tersebut. 
 
Bagaimana pendapat Anda?

Related

award
SPSAwArDS