Gelombang tuntutan dari pengemudi ojek online (ojol) kembali memuncak dengan aksi demonstrasi besar pada 20 Mei 2025 lalu. Mereka menilai potongan komisi sebesar 20 % terlalu memberatkan dan meminta intervensi pemerintah agar potongan komisi diturunkan demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Karenanya, sejumlah pejabat negara dan ekonom pun menyerukan agar pemerintah tidak terburu-buru merespons tuntutan secara populis.
Mereka mengingatkan bahwa keputusan yang tidak berbasis data dan hanya mengakomodasi satu pihak bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih luas terhadap ekosistem digital Indonesia.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengatakan, ekosistem ojol dan layanan pengantaran digital adalah sistem yang sangat kompleks, karena melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
BACA JUGA: Menilik Tantangan Model Kemitraan dalam Bisnis Ojol
Tidak hanya jutaan mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi, tetapi juga konsumen, pelaku UMKM, regulator, investor, penyedia layanan keuangan, logistik, teknologi, serta mitra bisnis lainnya seperti restoran, toko, gudang, dan bengkel.
Setiap intervensi pada satu titik dalam ekosistem ini berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan banyak sektor.
”Industri transportasi online seperti ojol dan kurir online berkontribusi sekitar 2% terhadap produk domestik bruti atau PDB Indonesia, bila komisi dipaksakan turun, dampaknya bisa sangat besar. Hilangnya pendapatan pengemudi akan menurunkan daya beli mereka, yang kemudian berdampak pada sektor makanan, kebutuhan pokok, hingga layanan keuangan seperti pinjaman dan cicilan,” kata Agung Yudha dalam siaran pers kepada Marketeers, Selasa (27/5/2025).
Agung Yudha juga merinci dampak besar yang terjadi bila komisi dipaksa turun.
Pertama, hanya 10–30% mitra pengemudi yang bisa terserap ke lapangan kerja formal. Kedua, penurunan aktivitas ekonomi digital bisa menekan PDB hingga 5,5%. Ketiga, sekitar 1,4 juta orang terancam kehilangan pekerjaan. Terakhir, dampak ekonomi total bisa mencapai Rp 178 triliun, termasuk efek berantai pada sektor lain.
Karenanya, Menteri Perhubungan (Menhub), Dudy Purwagandhi menanggapi tuntutan penurunan komisi menjadi 10% dengan penuh kehati-hatian. Dudy menyatakan bahwa aplikator memiliki skema potongan yang bervariasi dan pengemudi bebas memilih platform sesuai preferensi.
“Para driver sebenarnya punya pilihan, kita bisa lihat bahwa keempat aplikator ini—GoJek, Grab, Maxim, dan InDrive—memiliki pangsa pasar dan skema potongan yang berbeda,” ujar Dudy Purwagandhi.
BACA JUGA: Cara Cek Pengeluaran “Gojek Wrapped” yang Viral di Media Sosial
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan menurunkan komisi, tetapi harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem.
“Kalau saya tidak berpikir keseimbangan berkelanjutan, bisa saja. Tak ada susahnya menandatangani aturan potongan 10%. Tapi rasanya tidak arif bagi kami kalau kami tidak mendengar semuanya,” kata dia.
Ia menekankan, ini bukan sekadar bisnis biasa. Ada ekosistem besar di sini—pengemudi, perusahaan, UMKM, logistik, hingga masyarakat pengguna. Pemerintah ingin menjaga keberlanjutan dan keseimbangannya.
Dengan segala pertimbangan itu, Menhub dan para ekonom menekankan bahwa regulasi terhadap ekosistem digital tidak bisa dibuat secara tergesa-gesa atau emosional.
Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, mengedepankan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan berbasis bukti.