Relevansi Emosional dari Seasonal Marketing

marketeers article
seasonal marketing | sumber: 123rf

Beberapa merek yang ada di Indonesia menggelontorkan hampir seluruh budget pemasaran yang dimilikinya dalam setahun hanya dalam kurun waktu dua bulan saja. Praktis sisa sepuluh bulan lain dalam tahun itu kehadiran merek pun amat sangat tipis. 

Terdengar aneh dan tidak masuk akal, namun jika kita melihat nilai penjualan yang dibukukan dalam periode pendek itu maka kita pun akan mengerti mengapa mereka melakukan itu. Derasnya guyuran belanja iklan dalam periode itu berbuah manis dan mendapat ganjaran setimpal karena nilai penjualan yang dihasilkan pun seimbang dengan derasnya guyuran belanja iklannya. 

BACA JUGA: Seasonal Marketing dengan Events

Ini adalah alasan mengapa merek-merek sirup dan obat mag menggelontorkan sebagian besar budget pemasarannya hanya pada periode Ramadan. Kita pun mendadak seperti diingatkan bahwa merek tersebut masih ada dan siap menyelesaikan masalah kita. 

Kebetulan memang periode Ramadan kebutuhan dua produk itu mendadak melonjak. Sudah jadi budaya orang Indonesia untuk berbuka puasa dengan sesuatu yang manis, dan sirup adalah pilihan umum yang paling terjangkau. 

BACA JUGA: Jalani Seasonal Marketing, ASTEC Rilis Koleksi Juara ’92 Jelang HUT ke-79 RI

Begitu juga dengan obat mag yang iklannya mendadak ada di mana-mana secara berulang-ulang, seolah-olah sudah tahu bahwa kita akan membutuhkannya. Dan memang benar, puasa Ramadan memang sering kali memberikan tantangan tambahan untuk mereka yang memiliki sakit mag dan kurang tertib mengatur makan. 

Ironisnya, kedua produk kategori itu hampir hilang total dari layar televisi di luar periode Ramadan. Seolah-olah konsumen tidak mengalami gangguan mag di luar periode tersebut.

Hal seperti ini sering disebut sebagai festive marketing atau seasonal marketing. Cukup bisa ditebak, nama ini muncul karena aktivitas marketing dilakukan secara seasonal, sewaktu-waktu terutama di periode festival/perayaan. 

Pertanyaan besar yang sering muncul dari praktik seasonal marketing adalah; apakah praktik marketing ini tidak bisa dilakukan di luar periode-periode khusus ini? Mengapa merek-merek tersebut tidak melakukannya sepanjang tahun? 

Jika 90% dari budget pemasaran yang digelontorkan di periode itu sukses memberikan hasil yang memberikan keuntungan untuk perusahaan, mengapa besaran budget yang sama tidak digelontorkan di periode-periode selanjutnya? Seasonal marketing menunjukkan bagaimana marketing secara fundamental bekerja. 

Prinsip paling dasar dari marketing adalah tentang relevansi. Marketing tidak akan berhasil tanpa memenuhi prinsip relevansi. 

Ramadan adalah momen yang sangat relevan untuk produk sirup karena dorongan lapar dan dahaga sepanjang hari membuat kita “craving” makanan dan minuman manis. Terlebih di hari-hari awal puasa, mengingat beberapa hari sebelumnya tubuh kita memiliki asupan gula yang cukup, lalu mendadak berkurang pada saat berpuasa. 

Maka tubuh pun akan “berontak” mendorong otak untuk menginginkan “gula” tersebut. Di sanalah, kehadiran sirup menjadi sangat relevan. 

Ini bukan masalah keinginan, tapi bahkan seolah-olah “kebutuhan” yang didorong reaksi fisiologis. Dan itulah relevansi yang paling kuat.

Dalam hidup sehari-hari banyak contoh nyata tentang apa itu relevansi. Cocktail party effect adalah salah satunya. Bayangkan Anda menghadiri pesta pernikahan teman sekolah dan kemudian bertemu banyak teman lama. 

Maka Anda sibuk berbincang-bincang menuntaskan rasa kangen yang ada. Anda fokus berbicara dengan teman-teman lama yang anda temui itu. 

Sebegitu fokusnya hingga lagu yang dinyanyikan oleh band di acara tersebut pun luput dari pendengaran anda. Anda tahu ada lagu yang dimainkan, namun kita tidak bisa me-recall lagu itu ketika kemudian ditanya setelah kita meninggalkan tempat itu. 

Namun, bahkan dengan sebegitu fokusnya berbicara dengan teman-teman lama, Anda masih bisa mengenali dan bereaksi pada suara MC ketika nama anda atau nama sekolah tempat anda berkawan dengan sang pengantin disebut. Ini adalah cocktail party effect, yaitu kecenderungan kita untuk tetap bisa bereaksi pada sesuatu yang relevan untuk kita bahkan ketika kita sedang berfokus pada hal lain.

Relevansi juga akan memicu selective attention bias, yaitu kecenderungan kita untuk menjadi lebih aware terhadap sesuatu yang relevan untuk Anda. Suatu saat saya mempertimbangkan membeli mobil Mercedes GLC. 

Saya pun mulai mencari berbagai macam informasi mengenai mobil ini. Walaupun belum sepenuhnya yakin untuk membeli mobil ini namun seperti orang jatuh cinta, hati dan perasaan saya tidak bisa terlalu lama berpaling dari memikirkan mobil ini. 

Menariknya, mendadak saya pun lebih aware akan kehadiran mobil ini di jalan. Mendadak saya lebih sering melihat mobil ini di jalan dibanding sebelumnya. 

Seolah-olah mobil ini mendadak banyak beredar di jalan. Ini juga terjadi karena relevansi. 

Ketertarikan kita yang begitu dalam secara bawah sadar mendorong otak kita untuk lebih aware terhadap kehadiran mobil ini. Maka dari itu kita lebih sering menemukannya di jalan.

Begitu juga dengan bagaimana kita menyukai sebuah lagu. Sebuah lagu setidaknya memiliki dua buah elemen utama; melodi/nada dan lirik. Sering kali kita berpikir bahwa melodi lah yang membuat kita menyukai sebuah lagu. 

Walaupun tidak salah, namun pada banyak kasus justru liriklah yang membuat kita mencintai (bukan sekadar menyukai) lagu tersebut. Melodi memang bisa sedemikian rupa membuat kita bersenandung. 

Melodi membuat kita bersenandung dengan otak kita. Kita menyukainya dan maka dari itu bersenandung. 

Namun, liriklah yang pada akhirnya membuat kita bukan cuma menikmatinya dengan otak tapi bahkan meresapinya dalam hati dan ikut merasakan setiap kata dan bait dalam lagu itu. Ini terjadi karena lirik memiliki meaning yang sering kali sejalan dengan perasaan kita saat itu. 

Kata-kata dalam lirik tersebut terasa relevan dengan apa yang kita lalui dan rasakan sehingga kita pun mendadak merasa dimengerti. Seasonal marketing bisa menghasilkan output yang luar biasa dengan menggerakkan kita karena relevan. 

Tapi lebih jauh lagi, seasonal marketing relevan dengan cara yang lebih dalam lagi, yaitu relevan secara emosional. Relevan sering kali menjadi mantra tak bermakna marketer yang kurang menguasai esensinya.

Sebagai contoh, jika ada hari marketer, lalu apakah penjualan buku-buku marketing akan melonjak pesat pada hari itu? 

Setidaknya saya tidak akan membeli banyak buku pada periode itu kecuali ada tawaran menarik. Namun tawaran yang sama juga bisa membuat saya membeli lebih banyak jika dilakukan di hari perawat misalnya. 

Fakta bahwa saya berprofesi sebagai marketer tidak lantas membuat hari marketer menjadi relevan untuk saya. Relevansi adalah keterikatan yang melibatkan hati kita beresonansi dengan apa pun momennya itu. 

Bukan sekadar kesamaan fakta yang dingin dan tidak memiliki arti yang mendalam. Maka dari itu seasonal marketing banyak dilakukan dan memberikan hasil signifikan ketika digunakan pada hari-hari keagamaan. 

Ini karena agama adalah sesuatu yang personal dan berdasar pada keyakinan hati ketimbang logika otak. Selain itu, hari-hari keagamaan juga selalu memiliki residu emosional dari masa lalu. 

Momen-momen emosional yang pernah terjadi begitu membekas di hati kita dan tidak bisa dilupakan. Maka dari itu ketika sinyal-sinyalnya muncul, kita pun beresonansi secara emosional. 

Itulah level relevansi yang harus dikejar oleh para marketer, ketimbang sekadar kesamaan fakta dingin yang tidak bermakna seperti pada relevansi yang dipaksakan. Menjawab pertanyaan di awal, kalau begitu apa artinya berbagai macam aktivitas yang dilakukan dalam seasonal marketing tidak bisa dilakukan di luar periode-periode festive semacam itu? 

Jawabannya ya dan tidak. Momen hari besar keagamaan memiliki modal dan sudah menanamkan trigger di hati kita berkat emotional flavor yang pernah muncul di masa lalu. 

Sehingga aktivitas yang kita lakukan di seasonal marketing bisa berdampak sama jika kita berhasil menghadirkan relevansi emosional dengan intensitas dan saliensi yang sama. Lalu apakah hal itu mungkin bisa dilakukan? 

Tentu saja, Relevansi tidak selalu ada begitu saja. Namun juga hadir dengan sebuah proses yang berkesinambungan. Tapi relevansi pada dasarnya juga adalah soal perspektif. 

Produk post it yang kini banyak ditemui di berbagai ruang perkantoran juga menghadirkan relevansinya dengan menggeser perspektif melalui teknik positioning. Seperti kita ketahui, post it pada dasarnya adalah produk gagal. 

Pada waktu itu produsen pembuatnya bermaksud membuat lem yang rekat dan kuat. Namun entah di mana salahnya, perekat yang diciptakan tersebut ternyata tidak menempel cukup kuat dan mudah dikelupas. 

Menariknya, bahkan walaupun bisa dikelupas, namun perekat tidak menimbulkan bekas pada permukaan yang ditempel. Dari perspektif sebagai produk perekat post it adalah produk gagal. 

Namun, dengan mengganti perspektifnya sebagai produk nota catatan di mana kita bisa memberikan catatan pada sebuah dokumen dan bisa dengan mudah bisa memindahkannya tanpa residu, maka mendadak post it menciptakan pasar yang unik. Ini adalah bukti bahwa relevansi pun bisa dibangun, dan dengan bantuan empati yang baik maka relevansi yang menancap hingga di tahap emosional pun bisa dicapai. 

Pertanyaan yang harus kita tanyakan pada diri sendiri mengenai seasonal marketing ini adalah; apakah kita sudah membangun emotional relevance pada berbagai marketing activity kita, bahkan di luar seasonal marketing

Related

award
SPSAwArDS