Rupiah Melemah, Bagaimana Pasar Saham Ke Depan?

marketeers article

Rupiah masih terus tertekan. Apakah memang saat ini Indonesia sedang menuju krisis seperti dua puluh tahun silam?

Pelemahan nilai tukar rupiah didorong oleh berbagai faktor baik global dan domestik. Dalam lingkup global, penguatan dolar Amerika Serikat, kenaikan agresif suku bunga The Fed, konflik dagang AS-China, keluarnya dana asing dari pasar finansial Indonesia, serta melebarnya defisit neraca berjalan adalah isu yang melemahkan rupiah.

Walaupun memang saat ini rupiah di level Rp 15 ribu, sejumlah pihak berpendapat bahwa tidak bisa hanya membandingkan angka absolutnya saja. Jika membandingkannya pada kasus tahun 1998, rupiah melemah dari level Rp 6.000 ke Rp 17.000, atau terdepresiasi 180%. Sementara pada tahun 2018, rupiah melemah dari level Rp 13.300 ke level Rp 15.000 atau melemah 12%.

Kendati demikian, yang perlu pula dicermati adalah kemampuan rupiah untuk menguat -setidaknya kembali berada di level Rp 9.000- dianggap masih lemah. Selama lima tahun terakhir, rupiah terus menurun terhadap sejumlah mata uang asing, khususnya dollar Amerika.

Nilai mata uang tentunya akan berpengaruh terhadap peruntungan pasar saham dan obligasi Indonesia saat ini. Hingga pada kuartal IV 2018, dalam jangka pendek volatilitas diprediksi masih akan terjadi. Dari sisi global, akan ada beberapa event yang dapat membuat pasar masih cenderung volatile.

Suku bunga The Fed diperkirakan masih naik satu kali lagi. Kemudian, perang dagang China versus AS masih terus bakal terjadi. Begitupun dengan harga minyak yang akhir-akhir ini terlihat cenderung meningkat.

Pun dari sisi domestik, rupiah masih tetap melemah. Defisit neraca berjalan sepanjang 2018 berada di level 3%-an. Sejumlah pihak juga masih menunggu bagaimana laporan laba perusahaan pada kuartal ketiga.

“Yang menjadi kunci utama adalah stabilitas nilai tukar rupiah. Karena stabilitas nilai tukar adalah salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan investor asing mengambil keputusan untuk berinvestasi di Indonesia,” kata Freddy Tedja, Head of Investment PT Manulife Asset Management Indonesia.

Pemerintah maupun Bank Indonesia memang terlihat berupaya membuat rupiah kembali stabil dengan berbagai kebijakan, seperti kebijakan B20 dan kebijakan bio diesel untuk mengurangi impor. Pemerintah juga mulai sadar untuk membuat skala prioritas proyek infrastruktur, yang mana proyek tidak terlalu penting dapat ditunda dulu.

Begitupun dengan pengenaan tarif impor untuk 1.150 produk yang dianggap ada substitusinya di dalam negeri. Serta mengenai kebijakan mengenai konversi devisa hasil ekspor.

“Kita berharap semua akan ada hasilnya terhadap stabilitas rupiah, tetapi tidak secara instan. Pada saat rupiah sudah stabil, kita berharap pasar finansial Indonesia akan kembali membaik,” tutur Freddy.

Apalagi, sambung dia, dari sisi global dan domestik untuk tahun depan akan lebih banyak kepastian dibandingkan tahun ini. “Kuncinya balik lagi stabilitas nilai tukar rupiah dan kepastian yang ada di pasar,” tutup Freddy.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS