Nyanyi Sunyi Dalam Rantang merupakan film karya terbaru dari sutradara senior, Garin Nugraho. Film yang dibintangi oleh Della Dartyan ini mengangkat isu korupsi yang terjadi di Indonesia.
Film ini sendiri merupakan hasil kolaborasi antara Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Garin Workshop, dan Padi Padi Creative. Oleh sebab itu, film ini hadir bukan hanya untuk menghibur, melainkan juga sebagai media pendidikan politik dan pemberdayaan publik.
Harapannya, masyarakat Indonesia bisa lebih kritis terhadap praktik ketidakadilan dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan sudut pandang personal, film ini merepresentasikan kesenjangan yang terjadi saat sistem seakan menjadikannya seperti pisau bermata dua yang tumpul ke atas, namun bertaring ke bawah.
BACA JUGA Sinopsis Mungkin Kita Perlu Waktu, Film Terbaru Tissa Biani
Film Nyanyi Sunyi Dalam Rantang telah mendapat sambutan positif di ajang Intenational Film Festival Rotterdam ke-54 sebagai World Premier dalam program Harbour pada 30 Januari hingga 9 Februari 2025.
Selain Della Dartyan, film ini turut dibintangi oleh Arswendi Bening Swara, Alex Suhendra, Fajar Suharno, Mirkoen Awali, Minten, Nunung Rieta, dan Agus Becak. Perpaduan akting di antaranya mampu menggambarkan kompleksitas masalah hukum dan moral yang dialami oleh para tokoh.
Sinopsis
Nyanyi Sunyi Dalam Rantang mengusung cerita reflektif yang menyoroti kesadaran politik masyarakat. Film ini terinspirasi dari empat kasus nyata di Indonesia yang memperlihatkan bagaimana dampak luar biasa dari tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Film ini berfokus pada perjalanan Puspa, seorang pengacara muda yang berjuang di tengah kompleksitas sistem hukum yang korup. Kasus-kasus yang ditanganinya, mulai dari kriminalisasi petani hingga kolusi antara pengadilan dan korporasi, mengungkapkan lapisan labirin hukum yang melibatkan berbagai pihak.
BACA JUGA Kolaborasi Imajinari dan PH Parasite, 3 Film Andalan Bakal Diremake
Puspa menjadi simbol keberanian di tengah kesunyian, membuktikan harapan dan keadilan sekecil apa pun selalu layak diperjuangkan. Hari demi hari, penampilan dan kondisi mental Puspa, advokat muda di sebuah kabupaten kecil, terus memburuk.
Jarinya tremor, perutnya mual ingin muntah, tetapi tak bisa. Kegagalannya mencegah ketidakadilan atas warga miskin terus menghantuinya.
Puspa muak, ia muak dengan wajah hukum di negeri ini. Pukulan pertama muncul saat Puspa kalah dalam menangani perkara seorang nenek bernama Tumirah yang dituduh mencuri buah kakao milik perusahaan besar.
Padahal, Tumirah hanya memungut buah yang bisa diolah menjadi cokelat itu di atas tanah adat setempat.
Editor: Tri Kurnia Yunianto