SleekFlow: 73% Konsumen Asia Tenggara Masih Butuh Sentuhan Manusia di Era AI

Sebanyak 73% konsumen di Asia Tenggara lebih memilih kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mendukung layanan manusia, bukan menggantikannya sepenuhnya. Temuan ini terungkap dalam whitepaper terbaru SleekFlow yang menyoroti perubahan ekspektasi konsumen terhadap layanan bisnis di era digital.
Melalui laporan bertajuk AI Transformation in SEA: Aligning Consumer Demands with Business Goals, SleekFlow, platform percakapan omnichannel berbasis AI, melibatkan 1.100 responden dari berbagai negara Asia Tenggara. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumen semakin menuntut efisiensi berbasis teknologi, namun tetap mengharapkan kehadiran empati dalam interaksi mereka.
Asnawi Jufrie, Vice President & General Manager (SEA) SleekFlow, mengungkap bahwa sebagian besar responden mengaku keputusan belanja mereka kini dipengaruhi oleh peran AI, terutama ketika sistem mampu menawarkan rekomendasi dan promosi yang sesuai kebutuhan.
“AI bukan lagi tentang menggantikan manusia, tapi memperkuat kontribusinya,” ujar Asnawi dalam siaran pers kepada Marketeers, Rabu (4/6/2025).
BACA JUGA: Gen V Season 2 Tayang September 2025, Bagaimana Nasib Andre?
Teknologi ini kian dianggap sebagai bagian inti dari strategi bisnis. Konsumen di Indonesia, Singapura, dan Malaysia tercatat lebih cenderung menyelesaikan transaksi setelah mendapat interaksi awal dari AI.
Kecepatan tanggap, akses 24 jam, serta kemudahan dalam pelacakan pesanan, pencarian informasi, hingga pembayaran membuat AI menjadi solusi yang praktis dalam kebutuhan sehari-hari.
Namun, efektivitas AI tetap bergantung pada relevansi personalisasi. Di Indonesia, 86% konsumen menyatakan hanya tertarik pada promosi yang benar-benar sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka.
Waktu respons juga menjadi faktor penting, dengan 88% responden menyebut bahwa menunggu lebih dari lima menit untuk berinteraksi dengan agen manusia sudah terlalu lama.
Meski AI menawarkan efisiensi, kehadiran manusia tetap tak tergantikan dalam konteks emosional atau situasi kompleks. Interaksi yang memerlukan pemahaman mendalam atau penyelesaian masalah secara empatik masih lebih cocok dilakukan oleh manusia.
Sebanyak 41% responden percaya bahwa layanan berbasis manusia tidak akan benar-benar hilang dalam waktu dekat, meskipun AI dinilai efektif untuk urusan praktis yang tidak melibatkan emosi.
Fenomena ini menandai lahirnya paradigma layanan pelanggan yang bersifat collaborative. AI dan manusia membentuk sinergi di mana masing-masing memainkan peran spesifik yang saling melengkapi.
Dari sisi bisnis, tren adopsi AI menunjukkan peningkatan pesat. Sekitar 67% dari 570 bisnis yang disurvei telah menerapkan AI, khususnya dalam bentuk chatbot, dengan tingkat pemanfaatan tertinggi di sektor ritel, jasa profesional, dan keuangan.
BACA JUGA: Menggali Tren Digital Marketing 2025 lewat Marketeers Tech for Business
Di Indonesia, sekitar 65% pelaku bisnis mengaku merasakan dampak positif dari penggunaan AI, terutama dalam fase awal interaksi seperti kesadaran dan pertimbangan pelanggan. Namun, tantangan tetap ada, mulai dari biaya implementasi, keterbatasan sumber daya internal, dan ketidakpastian terhadap return on investment (ROI) yang masih menjadi kendala utama.
Meski demikian, risiko stagnasi dinilai lebih besar. Bisnis yang enggan beradaptasi berisiko kehilangan relevansi di pasar yang semakin cepat berubah.
“Pelanggan ingin respons yang cepat dan cerdas, tetapi juga menginginkan rasa percaya, empati, dan kepastian. Visi kami adalah membekali bisnis dengan Agen AI yang tak sekadar mengotomatisasi, tapi juga mampu memahami,” kata Asnawi.
Melalui whitepaper ini, SleekFlow menyimpulkan bahwa masa depan bukanlah soal memilih antara manusia atau AI, melainkan bagaimana keduanya berkolaborasi menciptakan pengalaman pelanggan yang efisien, cerdas, dan tetap manusiawi.
Editor: Dyandramitha Alessandrina