Studi: Terlalu Sering Pakai AI Bisa Lemahkan Kemampuan Berpikir Kritis

marketeers article
Ilustrasi (Foto: 123rf)

Kemudahan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) memang menggoda, apalagi untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah atau pekerjaan dengan cepat. Namun, sebuah studi terbaru dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan dampak negatif dari kebiasaan ini.

Dalam studi yang dilakukan oleh MIT Media Lab, sebanyak 54 peserta berusia 18–39 tahun diminta menulis beberapa esai berbasis soal SAT (semacam soal ujian masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat).

Mereka dibagi ke dalam tiga kelompok: satu menulis menggunakan ChatGPT, satu dengan bantuan Google Search, dan satu lagi tanpa bantuan apa pun. Selama menulis, aktivitas otak peserta dipantau menggunakan alat EEG yang merekam gelombang otak dari 32 area berbeda.

Hasilnya, kelompok yang menggunakan ChatGPT menunjukkan tingkat keterlibatan otak paling rendah dan performa paling buruk secara bahasa, perilaku, maupun neurologis. Bahkan, semakin lama studi berlangsung, semakin malas pula kelompok ini menulis.

Beberapa di antara mereka bahkan hanya copy-paste dari ChatGPT di akhir percobaan. Dengan kata lain, percobaan tersebut membuktikan bahwa terlalu sering mengandalkan AI justru bisa berdampak negatif pada otak, terutama dalam hal kemampuan berpikir kritis.

BACA JUGA: Cegah Nyeri Punggung Kronis dengan Kebiasaan Sederhana Ini

Dampak Terhadap Kemampuan Kognitif Otak

Para peneliti juga menemukan bahwa tulisan dari pengguna ChatGPT cenderung mirip satu sama lain dan kurang mengandung ide-ide orisinal. Dua guru bahasa Inggris yang menilai hasil esai tersebut bahkan menyebut tulisan itu “soulless” atau tidak punya jiwa.

“Pengguna ChatGPT cenderung hanya memberi perintah, lalu meminta chatbot memperbaiki atau menyunting kalimat tanpa proses berpikir mendalam dari si penulis sendiri,” jelas Kosmyna, peneliti utama studi ini, dikutip dari Time Magazine, Kamis (19/6/2025).

Sebaliknya, kelompok yang menulis esai secara manual tanpa bantuan apa pun menunjukkan aktivitas otak paling aktif. Gelombang alpha, theta, dan delta—yang berhubungan dengan kreativitas, daya ingat, dan pemrosesan bahasa—muncul lebih kuat.

Kelompok ini juga merasa lebih puas dan mengaku memiliki keterlibatan emosional terhadap tulisan mereka. Sementara itu, kelompok pengguna Google juga menunjukkan keterlibatan otak yang cukup tinggi karena masih harus melakukan pencarian informasi dan berpikir mandiri untuk merangkai tulisan.

BACA JUGA: Mau Berat Badan Turun? Lakukan Hal Ini setelah Jam 5 Sore

Dalam percobaan lanjutan, kelompok pengguna ChatGPT diminta menulis ulang esai mereka sebelumnya tanpa bantuan AI. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka kesulitan mengingat isi tulisannya sendiri dan otaknya tidak menunjukkan aktivitas gelombang yang mencerminkan proses memori jangka panjang.

Sebaliknya, kelompok yang awalnya menulis manual tapi kemudian menggunakan ChatGPT justru bisa memanfaatkan teknologi ini dengan lebih bijak dan tetap mempertahankan koneksi otak yang kuat.

Terlepas dari hasil negatifnya, penelitian ini tidak menyalahkan AI sepenuhnya. Kosmyna justru melihat bahwa jika digunakan secara tepat, AI bisa menjadi alat bantu belajar yang bermanfaat asalkan pengguna tetap aktif berpikir dan tidak hanya mengandalkan hasil instan dari teknologi.

“Penting bagi kita untuk mendidik generasi muda agar tahu cara menggunakan AI tanpa mengorbankan proses belajar otak mereka,” tegas Kosmyna.

award
SPSAwArDS