Tren Quick Commerce: Cepat Saja Tak Cukup

marketeers article
Sumber ilustrasi: www.123rf.com

Tren quick commerce menjawab kebutuhan konsumen mendapatkan barang yang dibeli secara cepat. Meski demikian, para penyedia layanan quick commerce tak bisa hanya mengandalkan kecepatan, tetapi juga memerhatikan disiplin QCDS (Quality, Cost, Delivery, Service).

Industri e-commerce di Indonesia mengalami aneka perkembangan. Salah satunya adalah tren pengiriman barang secara cepat atau populer dengan sebutan quick commerce (q-commerce). Pengiriman kilat ini menandai babak baru e-commerce di Indonesia selain social commerce. Tren ini semakin menguat seiring dengan semakin impulsifnya perilaku belanja dan meningkatnya permintaan produk keseharian selama masa pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun lebih.

Pada umumnya, layanan tersebut didominasi oleh kebutuhan akan barang-barang keseharian (groceries), stationaries, dan obat-obatan. Diklaim cepat karena barang bisa diantar sampai ke konsumen hanya dalam waktu 10-30 menit setelah terjadi pemesanan. Para pemainnya biasanya mengandalkan jaringan gudang mikro yang mereka bangun dan biasanya disebut dengan dark stores, in-house stores, atau cloud stores.

Tren quick commerce ini cukup merampingkan proses logistik e-commerce biasa dan terus berkembang di masa-masa sekarang meski pandemi sudah mereda. Beberapa pihak menyebut quick commerce tersebut sebagai generasi ketiga commerce.

 Ada sejumlah pemain quick commerce yang mulai memperkuat debutnya di pasar Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Sebut saja Astro, Allo Fresh, Bananas, Dropezy, maupun Radius. Para pemain besar e-commerce yang sudah ada pun mulai melihat potensi quick commerce tersebut dan merilis layanan pengiriman kilat di platformnya seperti GrabMart, Blibli, Tokopedia, dan sebagainya. Sebagian besar pemain quick commerce menggarap pasar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun, Radius mengambil ceruk pasar lain di kota-kota besar lapis dua di luar Jakarta, seperti di Semarang, Solo, dan sebagian wilayah Yogyakarta.

Astro mengawali operasionalnya pada September 2021. Didirikan oleh Vincent Tjendra (CEO), Jessica Jap, Marcella Moniaga, Sherlyn Gautama, dan Wandi Budianto, perusahaan rintisan ini menjanjikan pengiriman kilat 15 menit kepada pelanggan.

“Apa pun yang dibelanjakan di platform quick commerce seperti Astro akan sampai ke konsumen dalam waktu 15 menit. Ini yang membedakan dengan platform e-commerce jenis lainnya. Kami menjual beragam produk, seperti barang-barang untuk kebutuhan harian, bahan-bahan masakan segar, obat-obatan OTC, hingga meterai,” kata Evan Januli, Vice President of Brand and Marketing Astro.

Durasi pengantaran 15 menit tersebut tentu tidak lepas dari cakupan wilayah pengantarannya. Astro saat ini masih membidik kota Jakarta dan akan mengembangkan cakupannya di Jabodetabek dengan ongkos kirim antara Rp 15.000 hingga Rp 50.000 dengan armada logistik in-house.

Hingga hari ini, Astro menyediakan lebih dari 1.500 SKU dari berbagai kategori, seperti sayuran, buah segar, daging, alat tulis, camilan, hingga obat. Menurut Evan, kategori ini akan diperluas seturut dengan dinamika kebutuhan konsumen.

Selama tahun 2022, Astro mengklaim pertumbuhan sepuluh kali lipat berkat efisiensi pengiriman kepada pelanggan yang lebih tinggi. Sementara, aplikasi Astro sudah diunduh oleh sekitar satu juta pengguna dalam enam bulan pertama. Astro sekarang didukung oleh 200-an staf yang bekerja secara work from anywhere.

Untuk mendukung operasional logistik yang cepat tersebut, Astro membekali diri dengan jaringan toko yang disebut dengan dark stores. Menurut Evan, dark stores ini dibangun untuk menyediakan produk-produk yang dibutuhkan dalam quick commerce. Setiap dark store dilengkapi dengan man power untuk pengiriman. “Tenaga pengiriman ini kami punyai sendiri dan tidak bekerja sama dengan pihak lain,” katanya.

Pentingnya QCDS

Meskipun core competitiveness dari quick commerce adalah kecepatan, para pemainnya tidak boleh mengesampingkan elemen lain yang menjadi faktor kepuasan konsumen. Artinya, cepat saja tidak mencukupi. Layanan kilat tersebut sebaiknya tidak bisa dilepaskan dari elemen Quality, Cost, Delivery, dan Service atau QCDS.

Mengunggulkan pengiriman sampai dalam kurun waktu 10-15 menit bukanlah jaminan bahwa konsumen akan merasa puas karena barang yang ia beli cepat sampai. Kualitas (quality) barang yang dikirim harus dijaga. Misalnya, produk yang dikirim dalam bentuk buah segar atau sayuran. Penyedia layanan pengiriman kilat harus menjamin bahwa produk yang dikirim benar-benar berkualitas, tidak busuk, tidak rusak di perjalanan baik, dan dikemas dengan baik. Jadi, pelanggan benar-benar puas karena barang yang ia pesan bisa diantar dengan cepat tanpa cacat sedikit pun.

Menjaga kualitas barang juga menjadi tantangan bagi Astro. Saat pengiriman sayuran, misalnya, Astro harus menjamin sayurnya masih segar ketika diterima oleh konsumen atau telor tidak pecah satu pun saat pengantaran. “Kami menjamin kualitas ini. Kami ingin konsumen mendapatkan pengalaman seamless mendapatkan barang sama seperti ketika mereka belanja di toko offline, bedanya mereka tidak bisa menyentuh lebih dulu. Sama ketika mereka belanja ice cream dari rumah, kami menjamin es krim tetap beku saat sampai di tangan mereka,” kata Evan.

Selain itu, pemain quick commerce juga perlu memerhatikan cost. Jangan sampai mengejar kecepatan, tetapi pada pada akhirnya kedodoran soal ongkos operasional. Salah satu cara Astro menekan ongkos tersebut adalah dengan membangun tim pengantaran secara in-house dengan dukungan dark stores yang terus diperluas (setting local hubs).

Soal delivery, quick commerce harus berkomitmen pada pengantaran kilat sebagai core competitiveness-nya. Tidak kalah penting, service yang baik harus dikedepankan. Dalam hal ini, peran manusia dengan bantuan teknologi sangat penting dalam menciptakan

Related

award
SPSAwArDS