Ubud, Antara Budaya dan Globalisasi

marketeers article
Sebagai destinasi wisata budaya yang sudah terkenal, Ubud terus berbenah dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Adat dan tradisi terus berembus dalam tiap sendi kehidupan Ubud. Namun, ditengah era globalisasi ini, bagaimana masyarakat Ubud menghadapi tantangan modernitas?
 
Masyarakat Bali memegang teguh ajaran Tri Hita Karana, yang mana adalah falsafah hidup dalam mencapai keseimbangan hidup melalui hubungan dengan Tuhan, Manusia, dan Alam.
 
“Dari tiga dimensi tersebut, kami memahami kaitan antara keTuhanan, kemanusiaan, dan alam. Dua dimensi itu tetap terjaga. Saat ini, kami dihadapi dengan tantangan perubahan terhadap pemaknaan alam. Misalnya, pembangunan tidak terkontrol,” ujar Tjokorda Gde Raka Sukawati (Tjok De').
 
Tjok De' melihat masalah sosial dan kerukunan antarmasyarakat di Ubud masih sangat bagus. Hal itu juga didukung dengan aktivitas keagamaan yang tetap terjaga.
 
Menurutnya, efek globalisasi membuat  beberapa pembangunan keluar dari pakem alam dan tradisi. Sebab itu, diperlukan adanya persamaan persepsi terkait masalah ini. “Bagaimana memposisikan budaya di antara dua kepentingan, yakni ekonomi dan globalisasi? Apa kita akan mengikuti 100% globalisasi atau berpegang pada pakem budaya. Apakah harus bergerak dengan marketing modern atau bergerak pada budaya? Padahal keduanya ini saling melengkapi,” jelas Tjok De.
 
Masyarakat Ubud tidak bisa mengabaikan dua hal tersebut baik modernitas dan budaya. “Modernitas bisa berjalan dan rohnya tetap pada budaya yang kami miliki. Jadi, semangatnya tetap pada budaya,” ujarnya.
 
Lebih lanjut, Tjok De' melihat masyarakat Ubud perlu pengendalian diri serta aktif mengapresiasi dan merawat budaya. “Sikap materialistis dan individual akan cenderung keluar dari roh budaya itu sendiri,” tutup Tjok De'.

Related

award
SPSAwArDS