Unilever Ingin Keluar dari Stigma Produk Massal

marketeers article
Photo Credit: Dok. Unilever.com

Ada masa di mana eksekutif Unilever memberikan instruksi kepada tim R&D mereka untuk menelurkan produk baru yang menyasar kelompok paling berpengaruh saat ini, yaitu perempuan millennials usia 18-35 tahun. Itu artinya Unilever mulai bermain di ceruk yang lebih tersegmentasi ketimbang pasar massal.

Alan Jope, Presiden kategori perawatan tubuh Unilever mengatakan perusahaan asal Inggris-Belanda itu tengah merangkul kelompok konsumen yang lebih sempit. Alasannya, mereka sedang menghadapi pasar yang kian tersegmentasi.

“Ini merupakan tren sekuler ketika dunia menjadi tempat yang jauh lebih rumit. Kami memerlukan portofolio merek yang lebih kompleks untuk menang di masa depan” kata Jope.

Portolio yang dimaksud Jope merujuk pada merek yang baru diluncurkannya di pasar Amerika Serikat, yaitu Love Beauty and Planet. Hadir sejak awal Januari 2018, merek ini menawarkan rangkaian produk sampo, kondisioner, dan sabun mandi.

Peluncuran itu merupakan bagian dari upaya Unilever merespons pasar sekaligus memindahkan portofolio ke segmen yang diyakini memiliki pertumbuhan tinggi. Perusahaan ini berharap dapat meluncurkan enam merek personal care (perawatan pribadi) terbaru sepanjang tahun 2018.

Dikutip dari Fortune.com, Jope menerangkan bahwa Love Beauty and Planet mengejar dua target pertumbuhan. Pertama, kelompok milenial. Kedua, segmen yang mengidamkan produk alami.

Pasalnya, produk-produk dengan slogan “alami” saat ini menguasai seperempat pasar perawatan pribadi dan tumbuh dua kali lipat dibandingkan produk massal. Selain itu, merek-merek Unilever dengan emblem “Sustainable Living” tumbuh lebih dari 50% pada tahun lalu dan menyumbang 60% pertumbuhan bisnis Unilever pada tahun 2016.

Jope mengatakan pihaknya memberikan mandat kepada tim riset agar Love Beauty and Planet menjadi produk yang diformulasikan secara berkelanjutan. Unilever mengklaim menggunakan minyak dan ekstrak yang mengandung bahan alami seperti lavender Prancis dan bunga mawar Bulgaria sebagai bahan dasar wewangiannya.

Botol pun terbuat dari 100% plastik daur ulang dan dapat didaur ulang kembali. Produk juga menggunakan teknologi “bilas dengan cepat” yang bermanfaat bagi lingkungan karena membutuhkan sedikit air untuk membilas rambut.

Love Beauty and Planet diformulasikan tanpa parabens, senyawa kimia yang selalu dihindari oleh konsumen pecinta produk alami. Akan tetapi, menurut Jope perusahaan tidak ingin terlalu jauh masuk dalam ‘perang klaim’.

“Kami ingin memastikan bahwa kami tidak berpartisipasi dalam penggunaan bahan kimia meskipun itu dianggap aman dan efektif,” tuturnya. Ia melanjutkan dirinya tak ingin melakukan klaim atas produknya karena terkesan tidak baik bagi konsumen.

Unilever, kata Jope, bakal terus meluncurkan produk terbaru dalam upaya mengisi kesenjangan portofolio produk mereka. Misalnya, pada September lalu, perusahaan meluncurkan Pureline Hijab Fresh di Indonesia, sebuah body lotion yang dirancang untuk “konsumen muslim modern”, yang merupakan demografi dengan pertumbuhan tercepat.

Unilever dikabarkan akan terus mengakuisisi perusahaan lain di kategori yang pertumbuhannya sedang meningkat. Seperti yang dilakukannya pada tahun 2016 ketika Unilever membeli produk pembersih ramah lingkungan Seventh Generation dan meminang Dollar Shave Club untuk menjadi bagian dari merek perawatan pria mereka.

Terlepas dari segmentasi pasar, Jope tidak percaya bahwa era miliaran dolar yang selama ini ditimba oleh merek-merek seperti Lifebuoy dan Sunsilk bakal segera berakhir. Sebab, sampai saat ini mayoritas penjualan masih berasal dari merek besar tersebut. Sebagai catatan, perusahaan harus tetap relevan dengan perubahan demografi konsumen.

“Merek-merek besar kami masih tetap ada,” tukas dia, “Tapi mereka hanya akan besar apabila jeli memanfaatkan kebutuhan dan tren-tren pasar.”

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS